Senin, 02 Februari 2009

Rihlah 'Ilmiyyah dalam Tradisi Islam

Rihlah ‘ilmiyyah dalam Tradisi Intelektual MuslimA. Deskripsi praktik rihlah ‘ilmiyyahRihlah ‘ilmiyyah berasal dari bahasa Arab yaitu rihlah dan “ilmiyyah. Rihlah yang berasal dari akar kata rahila- yarhilu- rihlatan yang berarti berpindah dari satu negara ke negara lain dengan tujuan tertentu.[1] Makna rihlah ini terdapat dalam surat Al-Quraisy : [2]إِيلَافِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاءِ وَالصَّيْفِRihlah yang dimaksud pada ayat di atas adalah perjalanan ke luar negara dengan tujuan berdagang. Tradisi ini menjadi sesuatu yang menjadi kebiasaan bangsa Arab dalam mempertahankan kehidupan ekonomi.Alquran juga mengisyaratkan agar manusia itu melakukan suatu perjalanan untuk mempertahankan kehidupan mereka : [3]أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَاAtas dasar perintah ayat inilah maka anjuran untuk melakukan rihlah itu dibolehkan dengan tujuan agar manusia melihat bagaimana perihal negara lain untuk memperoleh pelajaran ataupun untuk menyelamatkan diri dari kebinasaan di tempat tinggal yang lama.Sedangkan kata ‘ilmiyyah merupakan bentuk mashdar shina’iyy yang berasal dari akar kata ‘alima- ya’lamu yang berarti mengetahui.[4] Rihlah ‘ilmiyyah dapat diartikan sebuah perjalanan yang di tempuh ke luar negara atau pun daerah tempat tinggalnya dalam rangka kegiatan keilmuan. Berdasarkan term ini dapat dilihat tujuan dari rihlah ‘ilmiyyah dari dua aspek yaitu untuk menuntut ilmu (thalabaan lil-‘ilm) atau meningkatkan nilai ilmu pengetahuan (rasikh fi’ilm) dan juga dengan tujuan untuk mengajarkan ilmu di berbagai negeri atau negara lain.[5] Ibn Khaldun menjelaskan bahwa rihlah ‘ilmiyyah yang banyak dilakukan bertujuan untuk bertemu dengan guru dalam rangka menambah kesempurnaan pengetahuan dan yang menjadi sebabnya adalah bahwa seseorang itu memperoleh pengetahuan berasal dari adopsi yang mereka dapati dari keutamaan yang ada dalam satu mazhab; yang adakalanya berupa ilmu, pengajaran ataupun ceramah , dan cara lainnya adalah melalui hikayat , verbalisme secara langsung. Berdasarkan metode yang diterapkan ketika itu bahwa metode lisan dan penyampaian secara langsung merupakan hal yang paling dipercaya dan sangat memberikan dampak yang sangat positif dalam pengembangan pengetahuan. Perjalanan mencari ilmu ini merupakan sebuah upaya yang telah berhasil dilakukan ketika itu ada yang memiliki kekuasaan dan kedalaman ilmu dari para guru, disamping itu para pencari ilmu tersebut memperoleh istilah-istilah ataupun ungkapan-ungkapan baru baik dari para guru maupun dari teman-teman yang datang dari berbagai negara sehingga hal tersebut dianggap sebagai bagian terpenting dari sebuah ilmu, maka hal tersebut mendorong secara langsung munculnya berbagai metode dari para guru yang ditemui.[6] Gambaran praktik rihlah ini dalam pendidikan Islam klasik dipraktekkan secara luas oleh para ilmuwan yang hidup pada masa Islam klasik. Dalam mencari contoh tentang aktivitas rihlah ‘ilmiyyah ini maka usaha yang tepat dilakukan adalah menelusuri riwayat hidup para ilmuwan terkemuka tersebut dalam kamus biografi seperti tarajim, thabaqah dan al’alaam dan lain-lain. Kekaguman kita akan muncul manakala melihat mobilitas mereka dalam melakukan rihlah ‘ilmiyyah ini.B. Sampel beberapa ulama yang melakukan rihlah ‘ilmiyyahUntuk melihat dinamika intelektual yang terjalin karena adanya aktivitas rihlah ‘ilmiyyah ini berikut ini dikemukakan sampel beberapa ulama yang pernah melakukan aktivitas tersebut dan mencatatkan kepada kita suatu prestasi yang sangat tinggi dalam bidang ilmu pengetahuan. Mereka itu adalah: Al-Ghazali :Al- BukhariAbu ‘abd Allah Isma’il ibn Ibrahim al-Mughirah ibn Bardizbah al-Ju’fi lahir di Bukhara tahun 174H/. meskipun masih kecil beliau telah mulai belajar, seorang tukang tulis Bukhari Muhammad ibn Hatim menceritakan sebuah informasi dari Firabri bahwasannya Bukhari pernah mengatakan bahwa : aku mendapat ilham menghafal hadis sedangkan akau masih belajar di kuttab, lalu ditanya kepadanya berapa usiamu ketika itu? Bukhari menjawab sepuluh tahun atau mungkin juga kurang dari sepuluh tahun. Lalu ia mengatakan bahwa ketika ia berusia enam belas tahun aku telah menghapal kitab karya ibn al-Mubarak dan Waki’ dan aku juga dapat memahami ucapan-ucapan mereka ini yaitu mazhab ra’yi. Masa Al-Bukhari disibukkan dengan aktivitas menuntut ilmu dan mendengar hadis. Maka beliau mulai mendengar hadis dri ulama yang ada di negerinya seperti Muhammad ibn Salam dan Muhammad ibn Yusuf al-Baikandidyyin dan selainnya. Selanjutnya ia meneruskan pendidikanya di Mekkah sambil menunaikan ibadah Haji dan mendengar hadis dari al- Humaidi dan selainnya. Kemudian ia melakukan lawatan ilmiah ke Madinah dan mendengar hadis dari ‘Abd al-‘Aziz al-Awiisi, Mutharrif ibn ‘Abd Allah dan selainnya. Selain di dua kota Haram (Makkah dan Madinah), Bukhari melanjutkan perlajanan ilmiahnya untuk mencari para ahli hadis di berbagai negeri seperti di Khurasan, Syam, Mesir dan beberapa kota di Iraq, beliau juga berulangkali mendatangkan Baghdad dan membaur dengan penduduk yang ada di sana sehingga mereka mengenal dengan kemuliaan dan keahliannya dalam ilmu Riwayah dan dirayah. Al- Bukhari juga mendengar hadis dari Makki ibn Ibrahim dari Balkh, juga dari Merv beliau mendengar hadis dari ‘Ali ibn al- Hasan dan ‘Abd Allah ibn ‘Usman, di Naisabur ia juga mendengar sebuah hadis dari Yahya dan dari ulama ahl ra’yi seperti Ibrahim ibn Musa, di Baghdad selanjutnya beliau mendengarkan hadis dari Syuraih ibn an-Nu’man dan Ahmad ibn Hanbal. Di bashrah ia mendengar hadis dari Abu ‘Ashim an-Nabiil dan Muhammad ibn ‘Abd Allah al- Anshari, sedangkan di Kufah ia mendengar hadis dari Thalaq ibn Ghanam dan Khalad ibn Yahya, di Mesir ia mendengar hadis dari Sa’id ibn kasir ibn ‘Ufair dan tidak itu saja ia juga mendengar hadis dari orang-orang lain sehingga ia menulis seribu delapan puuh hadis, namun yang ia tulis itu telah ia jamin bahwa mereka adalah orang-orang yang beriman baik dari perkataan maupun perbuatan (lam aktub illa ‘aman qala al-iman qaulun wa’amalun).[7]Ibn JubayrIlmuwan lainnya yang aktif melakukan lawatan ilmiah adalah Ibnu Jubayr (w.614/1217) seorang sejarawan Maroko yang pernah bekerja pada salah seorang khalifah Muwahhidun yaitu Ya‘qub al-Mansur (590-595/1184-1199). Lawatan ilmiah yang pernah ia lakukan antara lain ke Granada tahun 578/1182 dan memperoleh pelajaran fiqh dari Ma‘d Ibn ‘Adnan (w.592/1196), ‘Ali ibn Abi al-‘Aisy (599/1203) ulama Hadis. Di kota Granada Ibnu Jubayr mengarang sebuah kitab ‘Ajaaib al-Buldan wa Ghaib al-Masyaahid (kekaguman sebuah kota dan keajaiban pemandangannya). Rihlah selanjutnya ke Mesir tahun 585/1190 dan diakhiri ke kota Sabtah sekaligus tempat terakhirnya.[8]Asy- Syafi’iiBeliau adalah Muhammad ibn Idris ibn al-‘Abbas ibn Usman in Syafi’, salah seorang ulama fiqh mazhab.Karir pendidikannya dimulai di Kuttab ketika beliau berusia tujuh tahun dan pada usia ini juga beliau telah menghapal Alquran. Namun keberadaannya di kutab tersebut tidaklah memberikan manfaat yang signifikan oleh karena itu beliau meninggalkan kuttab dan pergi ke Mesjidil Haram dan di sana beliau belajar Hadis dan berbagai ilmu bahasa, para gurunya di Mekkah antara lain : Isma’il ibn Qanstatin darinya beliau belajar Alquran kemudian belajar hadis dari Sufyan ibn ‘Ayyinah , Muslim ibn Khalid az-Zanji, Sa’id ibn Salim al-Qadih dan lain-lain. Rihlah ‘ilmiyyah nya dimulai ketika beliau ke Madinah bertemu dengan Imam Malik ibn Anas dan Ibrahim ibn Sa’d al-Anshari juga ‘Abd al-‘Aziz in Muhammad ad-Darawardi, Ibrahim bn Abu Yahya al-Aami untuk belajar hadis darinya, setelah ia matang dengan ilmunya beliau melakukan perjalanan selanjutnya ke Iraq dan tinggal di beberapa kota yang ada di sana. Di Iraq beliau berguru dengan Imam Muhammad ibn al-Hasan sahabat Abu Hanifah dan Abu Yusuf (murid Abu Hanifah). Di Iraq beliau mendengar Hadis dan Fiqh dan Alquran dari Waki’ Ibn Al-Jarrah, Abu Usamah Hammad ibn Usamah yang akeduanya adalah orang Kufi, di Bashrah beliau berguru dengan Ismail ibn ‘Alaih dan ‘Abd al-Wahha ibn ‘Abd al-Majid yang keduanya adalah orang Bashrah. Dari Iraq beliau melakukan perjalanan ilmiyyah ke negara-negara di sekitar Paris dan disana beliau bertemu dengan ulama-ulamanya dan berkeliling ke sebelah Utara ‘Iraq sementara itu usianya ketika itu belum sampai dua puluh tahun. Pada ketika itu juga ia berada di Ramlah dan tidak beberapa lama di Ramlah ia melanjutkan perjalanannya kembali ke Madinah menjumpai Imam Malik dan tinggal di kota Nabi itu sampai meninggalnya Imam Malik. Perjalanan ilmiyyahnya dilanjutkan ke Yaman dan di kota ini beliau belajar ilmu berkuda. Guru beliau ketika berada di Yaman adalah Muthrif ibn Mazin, Hisyam ibn Yusuf “hakim di San’a “ dan ‘Amru ibn Abu Salamah sahabat al-Auza’I, serta Yahya Ibn Hassan. Pada mereka asy-Syafii’ belajar fiqh dan juga mendengar hadis. Keseluruhan jumlah gurunya adalah sembilan belas orang, lima di Mekah, enama di Madinah, empat di Yaman, emapat di Iraq. Semuanya ini dituturkan ar- Raazi dalam manaqib Imam Syafi’i.[9]Muhyiddin Ibn ‘ArabiIbn ‘Arabi (w.638/1240) seorang ilmuwan sufi yang mobilitas perjalanan intelektualnya sangat dinamis. Mulai dari kota kelahirannya Murcia beliau selanjutnya menuntut ilmu ke Maroko pada tahun 564/1174 dan menetap selama 30 tahun 564-594/1174-1198. Setelah menetap selama 30 tahun , ia melakukan perjalanan ilmiah ke beberapa kota di Timur seperti, Mesir, Hijaj dan Baghdad. Di Baghdad ia bertemu dengan ibn ‘Asakir (w.598/1202) dan memperoleh pelajaran tasawuf darinya. Dari Baghdad lawatan ilmiahnya dilanjutkan ke kota Damaskus sekaligus sebagai tempat wafatnya.[10]Ibn Baythar :Ibnu aI-Baythar dilahirkan di Malaga pada akhir abad keenam dan meninggal dunia di Damsyik pada 646H/1248M. Nama lengkapnya ialah Abu Muhammad AbduIIah bin Ahmad ad-Din bin al-Baythar al-Malaki. Beliau terkenal sebagai doktor hewan ahli botani dan farmakologi serta sarjana ilmu tumbuh-tumbuhan. Al-Baythar menuntut ilmu di Seville, Sepanyol dan mengumpul pelbagai jenis tumbuhan di kota tersebut bersama beberapa gurunya seperti Abu al-Abbas an-Nabati, AbduIIah bin Shaleh dan Abu aI-Hajjaj. Ketika berada di Mesir, beliau dilantik oleh aI-Malik al-Kalim Ayyubi sebagai Ketua Ahli Meramu obat. Setelah meninggalkan Qahirah, beliau banyak melakukan ekspedisi ilmiah. Misalnya di Damaskus, al-Baythar bersama muridnya, Ibnu Abi Ashayhi'ah mengumpul pelbagai jenis tumbuhan sebagai bahan penelitian dan perubatan.Antara karya penting al-Baythar ialah; [11]1. AI-Mughnifi al-Adwiya' al-Mufradat adalah sebuah buku mengenai contoh ramuan obat untuk setiap jenis penyakit yang pernah diper-sembahkan kepada al-Malik ash-ShaIih Najm ad-Din Ayyuh.2. Al-jami' li Murradat al-Adwiya' wa al-Ag-hdhiya (Kumpulan obat-obatan mudah) dicetak di Al-Qohirah pada 1291H/1874M. Terjemahan dalam bahasa Perancis oleh L.Leclerc terdapat dalam Notices et Extraits (1877-1883) manakala' ter;emahan dalam bahasa jerman dibukukan oleh J.Sontheimer (Stuttgart, 1840-1841 M). Buku tersebut disusun berdasarkan hasil penyelidikan al-Baythar dan rujukan daripada Yunani purba dan pengetahuan tradisional Arab. ia turut memuatkan sejumlah daftarsecara abjad tidak kurang 1,400 contoh-contoh ubat dan 300 da-ripadanya adalah hasil penemuan beliau. Semua bahan-bahan ramuan diperoleh di negara sepanjang Laut Tengah, Sepanyol dan Syria. Secara umum, ramuan-ramuan ubat tersebut berasal daripada binatang, tumbuh-tumbuhan dan bahan mineral. Di dalam buku tersebut juga terdapat 150 penulis yang merupakan sumber pustaka daripada karyanya seperti Zakariyya ar-Razi, Ibn Sina, al-ldrisi, aI-Ghafiki, Galen dan sebagainya. Dua orang sarjana Barat iaitu Meycrhof dan Sobhy menganggap buku ini adalah karya ciplak daripada Fannakope at-Ghafiki dan beberapa bahan tambahan daripada guru-gurunya. Bahkan ada juga kritikan yang menyatakan 1,000 contoh ramuan yang dijumpai sebenamya telah dikenal pasti oleh penulis-penulis Yunani. Bagaimanapun, telah diakui bahawa a]-]ami' U Murradat al-Adwiya' wa al-Aghdhiya mempunyai pengaruh besar dalam dunia Islam dan Barat.3. Mizan at-Tabib4. Risalah /al-Aghdiya wa al-Adwiya5. Makalah fi al-Limun6. Sebuah buku yang memuatkan komentar terhadap Dioscorides. Kemudiannya buku ini menjadi manuskrip yang berisi daftar 550 jenis obat-obatan yang terdapat dalam buku pertama Dioscorides. Istilah-istilah teknik yang terdapat di dalamnya disertai dengan bahasa Latin dan Berber.7. Ad-Adwiyat al-Basyithah (Ramuan-ramuan sederhana) dicetak dalam bahasa Latin dengan judul simpuda dan diterbitkan di Cremona pada 1758M.Menurut George Sarton, al-Baythar telah menulis banyak karya dalam disiplin ilmu yang dikuasainya dan merupakan karya terbesar sejak zaman Dioscorides hingga pertengahan abad ke-16M.Nuruddin ar-RaniryNur ad-Din Muhammad ibn ‘Ali ibn Hasanji al-Hamid ar-Raniri dilahirkan di ranir sebuah kota pelabuhan tua di Gujarat. Tahun kelahirannya tidak diketahui namun kemungkinan menjelang akhir abad ke-16.pendidikan awalnya diperoleh di Ranir dan kemudian melanjutkan pelajarannya di wilayah Hadramaut, sumber sejarah mengatakan beliau ari Hadramaut kemungkinan besar pergi ke Haramayn sebab menurut al-Hasani dia berada di Mekah dan Madinah pada tahun 1030/1620 atau 1031/1621, ketika ia menjalankan ibadah haji Jawi di sana sebelum kembali ke Gujarat.Abdur Rauf as-SingkiliAbd dal- Ra’uf ibn ‘Ali al- Jawi al-Fansuri as-Singkili merupakan seorang melayu dari Fansur. Tahun kelahiranya tidak dikeyahui secara jelas tetapi setelah Ringkes mengadakan perjalanan ia menyimpulkan bahwa as-Singkili dilahirkan sekitar 1024/1615. pendidikan awalnya diperoleh di desa kelahirannya Singkel, kemudian melanjutkan pelajarannya ke Fansur. Ia melakukan perjalanan ke Banda Aceh ibukota kesultanan Aceh untuk belajar antara lain kepada Hamzah al-Fansuri dam Syam ad-Din as-Sumatrani. Sekitar tahun 1052/1642 as-Singkili berangkat ke Arabia dan belajar ke sejumlah tempat yang tersebar sepanjang rute haji dari Doha di wilayah teluk Persia, Yaman, Jeddah dan akhirnya Haramayn (Mekah dan Madinah). Jadi rihlah ilmiyyahnya di mulai di Doha (Qatar) dan di sini ia belajar dengan ‘Abd al-Qadir al-Mawrir. Setelah meninggalkan Doha as-Singkili melanjutkan pelajaran ke Yaman, terutama di Bayt al-Faqih (ibn Ujay) dan Zabid, meskipun dia juga memiliki guru di Mauza’. Bayt Faqih dan Zabid merupakan pusat-pusat pengetahuan Islam yang sangat penting di wilayah ini. Dari Yaman as-Singkili berangkat ke Jedah dan belajar dengan muftinya ‘Abd al-Qadir al-Barkhali dan dari sisi kemudian ia berangkat ke Mekah dan belajar dengan ‘Ali ibn ‘Abd al-Qadir al-Thabari. Tahap perjalanan ilmiyyah as-Singkili terakhir adalah ke Madinah yaitu kota Nabi dan di kota ini ia dapat menyelesaikan pelajarannya dan belajar dengan Ahmad Qusyasyi sampai ia meninggal pada tahun 1071/1660 bersama khalifahnya Ibrahim al-Kurani,dan selanjutnya menunjuknya sebagai khalifah Syattariah dan Qadariyah.[12]Abdushaamad Al-PalimbaniAbdu Shamad adalah putra Syekh Abdul Jalil bin Syekh Abdul Wahhab bin Syekh Ahmad al-Mahdani (ada yang mengatakan al-Mahdali), seorang keturunan Arab (Yaman) dengan Radin Ranti di Palembang. Syekh Abdul Jalil adalah ulama besar sufi yang menjadi guru agama di Palembang, Tidak dijelaskan latar belakang kedatangannya ke Palembang. Diperkirakan hanya bagian dari pengembaraannya dalam upaya menyiarkan Islam scbagaimana banyak dilakukan oleh warga Arab lainnya pada waktu itu. Tetapi selain sumber tersebut, Azyu-mardi Azra juga mendapatkan informasi mengenai dirinya dalam kamus-kamus biografi Arab yang menunjukkan bahwa Al-Palimbani mempunyai karir terhormat di Timur Tengah. Menurut Azra, informasi ini merupakan temuan penting sebab tidak pernah ada sebelumnya riwayat-riwayat mengenai ulama Melayu-lndonesia ditulis dalam kamus biografi Arab. Dalam literatur Arab, Al-Palimbani dikenal dengan nama Sayyid Abdush Shamad bin Abdur Rahman al-Jawi. Tokoh ini, menurut Azra, bisa dipercaya adalah Al-Palimbani karena gambaran karirnya hampir seluruhnya merupakan gambaran karir Abdush Shamad al-Palimbani yang diberitakan sumber-sumber lain. Dalam pengembaraannya ke Palembang, putra mahkota Kendah, Tengku Muhammad Jiwa, bertemu dengan Syekh Abdul Jalil dan berguru padanya, bahkan mengikutinya mengembara ke berbagai negeri sampai ke India. Dalam sebuah perjalanan mereka, Tengku Muhammad Jiwa mendapat kabar bahwa Sultan Kendah telah mangkat.Tengku Muhammad Jiwa lalu mengajak gurunya itu pulang bersamanya ke negeri Kendah. la dinobatkan menjadi sultan pada tahun 1112 H/1700 M.dan Syekh Abdul Jalil diangkat menjadi mufti Kendah dan dinikahkan dengan Wan Zainab.Tiga tahun kemudian Syekh Abdul Jalill kembali ke Palembang karena permintaan beberapa muridnya yang rindu padanya. Di Palembang ia menikah dengan Radin Ranti dan memperoleh putra, Abdush Shamad. Dengan demikian kemungkinan Abdush Shamad lahir tahun 1116 H/1704 M. Sumber yang menyebutkan silsilahnya sebagai keturunan Arab tidak pernah dikonfirmasikan oleh Al-Palimbani sendiri. Jika keterangan sumber tersebut benar, tentu Al-Palimbani akan mencantumkan nama besar al-Mahdani pada akhir namanya. Ini dapat dilihat dari setiap tulisannya, ia menyebut dirinya Syekh Abdush Shamad al-Jawi al-Palimbani, Kemungkinan dalam dirinya memang mengalir darah Arab tetapi silsilah itu tidak begitu jelas atau ada mata rantai yang tidak bersambung menurut garis keturunan bapak sehingga dia tidak merasa berhak menyebut dirinya keturunan al-Mahdani dari Yaman. Dan barangkali dia lebih merasa sebagai orang Indonesia sehingga mencantumkan 'al-Jawi' dan 'al-Palimbani' di ujung namanya. Mengenai tahun wafatnya juga tidak diketahui dengan pasti. Al-Tarikh Salasilah (silsilah) Negeri Kendah menyebutkan tahun 1244 H/1828 M. Namun kebanyakan peneliti lebih cenderung menduga ia wafat tidak berapa lama setelah meyelesaikan sayr al-salikin (1203 H/1788 M). Argumen mereka, sayr al-salikin adalah karya terakhirnya dan jika dia masih hidup sampai 1788 M kemungkinan dia masih tetap aktif menulis. Al-Baythar - seperti dikutip Azyumardi Azra - menyebutkan ia wafat setelah tahun 1200/1785. Namun Azyumardi Azra sendiri juga lebih cenderung mengatakan ia wafat setelah menyelesaikan sayr al-salikin.Al-Palimbani mengawali pendidikannya di Kendah dan Pattani. Tidak ada penjelasan kapan dia berangkat ke Makkah melanjutkan pendidikannya. Kemungkinan besar setelah ia mendapat pendidikan agama yang cukup di negeri Melayu itu. Dan agaknya sebelum ke Makkah dia telah mempelajari kitab-kitab para sufi Aceh karena di dalam Sayr al-Salikin dia menyebutkan nama Syamsuddin al-Samatrani dan Abdul Rauf al-Jawi al-Fansuri (Abdul Rauf Singkel). Namun sumber lain mengatakan bahwa ia pernah bertemu dan berguru pada Syamsuddin al-Samatrani dan Abdul Rauf Singkel di Makkah.Di Makkah dan Madinah, Al-Palimbani banyak mempelajari berbagai disiplin ilmu kepada ulama-ulama besar masa itu serta para ulama yang berkunjung ke sana. Walaupun pendidikannya sangat tuntas mengingat ragam ulama tempatnya belajar, Al-Palimbani mempunyai kecenderungan pada tasawuf. Karena itu, di samping belajar tasawuf di Masjidil-Haram. ia juga mencari guru lain dan membaca kitab-kitab tasawuf yang tidak diajarkan di sana. Dari Syekh Abdur Rahman bin Abdul 'Aziz al-Magribi dia belajar kitab Al-Tuhfatul Mursalah-nya Muhammad Fadlullah al-Burhanpuri (w. 1030 H/1620 M). Dari Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Madani (w. 1190 H/1776 M} ia belajar kitab tauhid Syekh Mustafa al-Bakri (w. 1162 H/1749 M). Dan bersama Muhammad Arsyad al-Banjari, Abdul Wahab Bugis dan Abdul-Rahman Masri dari Jakarta, mereka membentuk empat serangkai yang sama-sama menuntut ilmu di Makkah dan belajar tarekat di Madinah kepada Syekh Muhammad al-Samman (w. 1162 H/1749 M). Selama belajar pada Syekh Muhammad al-Samman, Al-Palimbani dipercaya mengajar rnurid-murid Al-Sarnmani yang asli orang Arab. Karena itu sepanjarig menyangkut kepatuhannya pada tarekat, Al-Palimbani banyak dipengaruhi Al-Sammani dan dari dialah Al-Palimbani mengambil tarekat Khalwatiyyah dan Sammaniyyah. Sebaliknya, melalui Al-Palimbani-lah tarekat Sammaniyyah mendapat lahan subur dan berkembang tidak hanya di Palembang tetapi juga di bagian lain wilayah Nusantara bahkan di Thailand, Malaysia, Singapura dan Filipina. Al-Palimbani rnemantapkan karirnya di Haramayn dan mencurahkan waktunya untuk menulis dan mengajar. Meski demikian dia tetap menaruh perhatian yang besar terhadap Islam dan kaum Muslim di negeri asalnya. Di Haramayn ia terlibat dalam 'komunitas Jawi' yang membuatnya tetap tanggap terhadap perkembangan sosio-religius dan politik di Nusantara. Peran pentingnya tidak hanya karena keterlibatannya dalam jaringan ulama. melainkan lebih penting lagi karena tulisan-tulisannya yang tidak hanya menyebarkan ajaran-ajaran sufisrne tetapi juga meng-himbau kaum Muslimun melancarkan jihad melawan kolonialis Eropa, dibaca secara luas di wilayah Melayu-lndonesia. Peranan dan perhatian tersebut memantapkannya sebagai ulama asal Palembang yang paling menonjol dan paling berpengaruh melalui karya-karyanya.Tercatat delapan karya tulis Al-Palimbani, dua diantaranya telah dicetak ulang beberapa kali, dua hanya tinggal nama dan naskah selebihnya masih bisa ditemukan di beberapa perpustakaan, baik di Indonesia maupun di Eropa. Pada umumnya karya tersebut meliputi bidang tauhid, tasawuf dan anjuran untuk berjihad. Karya-karya Al-Palirnbani selain empat buah yang telah disebutkan di atas adalah:1. Zuhrah al-Murid fi Bayan Kalimah al-Tauhid, ditulis pada 1178 H/1764 M di Makkah dalam bahasa Melayu, memuat masalah tauhid yang ditulisnya atas perrnintaan pelajar Indonesia yang belurn menguasai bahasa Arab.2. Al-'Uwah al-Wusqa wa Silsilah Ulil-Ittiqa', ditulis dalam bahasa Arab, berisikan wirid-wirid yang perlu dibaca pada waktu-waktu tertentu.3. Ratib 'Abdal-Samad, semacam buku saku yang berisi zikir, puji-pujian dan doa yang dilakukan setelah shalat Isya. Pada dasarnya isi kitab ini hampir sama dengan yang terdapat pada Ratib Samman.4. Zad al-Muttaqin fi Tauhid Rabb al-'Alamin, berisi ringkasan ajaran tauhid yang disampaikan oleh Syekh Muhammad al-Samman di Madinah.Mengenai Hidayah al-Salikin yang ditulisnya dalam bahasa Melayu pada 1192 H/1778 M, sering disebut sobagai terjemahan dari Bidayah al-Hidayah karya AI-Ghazali. Tetapi di samping menerjemahkannya, Al-Palimbani juga membahas berbagai masalah yang dianggapnya penting di dalam buku itu dengan mengutip pendapat AI-Ghazali dari kitab-kitab lain dan para sufi yang lainnya. Di sini ia menyajikan suatu sistem ajaran tasawuf yang memusatkan perhatian pada cara pencapaian ma'rifah kesufian melalui pembersihan batin dan penghayatan ibadah menurut syariat Islam. menyajikan suatu sistem ajaran tasawuf yang memusatkan perhatian pada cara pencapaian ma'rifah kesufian melalui pembersihan batin dan penghayatan ibadah menurut syariat Islam.Sedangkan Sayr al-Salikin yang terdiri dari empat bagian, juga berbahasa Melayu, ditulisnya di dua kota, yaitu Makkah dan Ta'if, 1779 hingga 1788. Kitab ini selain berisi terjemahan Lubab Ihya' Ulum al-D/n karya Al-Ghazali, juga memuat beberapa masalah lain yang diambilnya dari kitab-kitab lain. Semua karya tulisnya tersebut masih dijumpai di Perpustakaan Nasional Jakarta.10. Arsyad al- Banjari :Muhammad Arsyad bin Abd Allah al- Banjari lahir tanggal 15 Shafar 1122H /1710M, pendidikan dasarnya diperoleh di keraton di kota Banjar atas perintah Sultan at-Tahlilillah yang berkuasa di kota Banjar di kala itu dan tidak ada data tentang ilmu apa saja yang diperoleh Al- Banjari dalam lingkungan keraton tersebut serta siapa saja guru yang mengajarinya. Pada usia tiga puluh tahun Al- Banjari melanjutkan pendidikan ke Mekah dengan tujuan menunaikan ibadah haji sekaligus menuntut ilmu dan mukim di sana.[13] Di Mekah al-Banjari banyak bertemu dengan ulama-ulama dari berbagai disiplin ilmu antara lain Syekh Atha’illah bin Ahmad al- Mishri, syekh Ahmad in Abdul Mun’im ad- Damanhuri , Sayyid Abul Faidh Muhmmad Murtadha bin Muhammad az-zabidi, dan lain-lain. Ketika berada di Mekah, al-Banjari juga mendapatkan kesempatan untuk mengajar di Mesjidil Haram.[14] Setelah merasa cukup belajar di Mekah ia bermaksud melanjutkan belajar ke Mesir, sebelum ke Mesir ia singgah di Madinah dan tinggal di rumah Syekh Abdul Karim Samman seorang ulama di bidang tasawuf. Di tempat ini ia memperdalam tasawuf sampai mendapatkan ijazah dan memperoleh kedudukan sebagai khalifah. Saat itu di Madinah baru saja kedatangan seorang guru besar dari Mesir yaitu syekh Muhammad Sulaiman al-Kurdi yang mengajar di Mesjid Nabawi, ia belajar dengan beliau bersama murid-murid yang lain. Dalam pandangan al-Kurdi , al-Banjari merupakan murid yang cerdas sehingga al-Kurdi memberikan apresiasi kepadanya dengan memintanya untuk duduk di tengah-tengah bersama-sama dengan al-Kurdi sementara murid-murid yang lain duduk mengelilinginya. Setelah kurang dari lima tahun belajar di Mekah ia meminta izin untuk pergi ke Mesir namun al-Kurdi kurang setuju dan menganjurkannya supaya ia kembali ke tanah air dan al-Kurdi menyatakan bahwa ilmu yang diperolehnya selama belajar di Haramayn sudah sangat memadai untuk dikembangkan. Dan pada tahun 1186H/1772M ia kembali ke tanah air.[15] Dalam perjalanan pulang al-Banjari singgah di Pulau Penyegat , Riau dan di tempat ini beliau sempat memberikan pengajaran, kemudian ia berangkat ke Betawi dan menjadi tamu ‘Abdurrahman al- Mashri yang juga seorang ulama dan baru saja pulang dari tanah suci. Selama di Betawi al-Banjari mengelilingi masjid-masjid yang ada di sana dan juga memperbaiki arah kiblat beberapa mesjid, karena beliau memang terkenal dengan kepandaiannya di bidang ilmu falak, masjid-masjid tersebut antara lain: masjid Luar Batang, Masjid Pekojan dan Masjid Jembatan Lima. Setelah dua bulan di Betawi al-Banjari kemabali ke Banjar dan sampai di sana pada bulan Ramadhan 1186H bertepatan dengan bulan Desember 1772 M.[16]C. Tujuan dan Fungsinya Dalam Dunia IntelektualMasyarakat Muslim klasik yang melakukan rihlah ‘ilmiyyah pada priode klasik tidak dibatasi oleh adanya sistem kewarganegaraan (citizenship) sehingga mereka bebas melakukan rihlah ilmiyyah dengan menjelajahi berbagai negara tanpa terikat dengan kewajiban mengurus paspor atau visa. Namun demikian tujuan rihlah sebenarnya cukup beragam sesuai dengan perkembangan masyarakat. Diantaranya adalah untuk melaksanakan ibadah haji, berdagang dan menuntut ilmu, bertualang untuk mengembangkan jasmani dan mental dan sebagainya. Beberapa tujuan dari rihlah ‘ilmiyyah adalah :1. Pada masa Rasulullah rihlah bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang hadis dan Alquran serta untuk belajar tentang hukum langsung dari Nabi Saw.2. Pada masa sahabat dan tabi’iin tujuan rihlah ilmiyyah lebih dititik beratkan untuk mencari sanad hadis yang shahih dari sahabat yang memiliki nilai ketsiqahannya dalam meriwayatkan hadis.3. setelah ilmu hadis dibukukan maka lawatan ilmiah lebih ditujukan untuk mencari guru ataupun mendengar hadis untuk selanjutnya diperbincangkan ataupun didiskusikan.4. selain mencari ilmu, lawatan ilmiah juga bertujuan untuk memberikan pengajaran seperti Fasarqi ibn al-Quthami seorang yang memiliki keahlian dalam bidang sastra dan mengetahui ilmu tentang geneologi (nasab) diundang oleh Abu Ja’far al- Manshur untuk mengajarkan anaknya Al- Mahdi tentang Adab.[17]5. Imam Syafi’I mengatakan bahwa tujuan rihlah ilmiyyah adalah tafaqquh fi din [18]Fungsi rihlah ilmiyyah:Diantara fungsi rihlah ‘ilmiyyah adalah : F Memperluas wawasan yaitu dengan rihlah ‘ilmiyyah seseorang dapat memperoleh pengalaman-pengalaman baru. Pengalaman ini adakalanya untuk mendengarkan ilmu pengetahuan dari guru-guru juga untuk mengadakan penelitian sendiri, mereka mengumpulkan bahan-bahan ilmu bukan dari buku-buku atau dari lisan guru mereka melainkan dari penyelidikan dan pembahasan mereka sendiri. Melakukan rihlah ‘ilmyyaah ke beberapa negeri untuk selanjutnya mencatat apa-apa yang dilihatnya dan selanjutnya dibukukan apa yang telah diselidikinya. Dan buku-buku tersebut menjadi sumber yang asli yang dapat dipertanggung jawabkan.[19]F Mencari seorang guru yang berkualitas. Pada zaman klasik para pelajar pergi melakukan rihlah ‘ilmiyyah manakala dia mendengar bahwa di suatu kota terdapat seorang guru yang baik di bidang kajian yang ditekuninya. Terkadang seorang penuntut ilmu yang telah dinyatakan tamat dari bimbingan seorang guru, direkomendasikan untuk melanjutkan perjalanannya di bawah bimbingan seorang guru lain yang lebih otoritatif (seringkali guru atau teman dari guru pertama). Mengikuti rekomendasi semacam ini, seorang penuntut ilmu kerap harus melakukan rihlah ‘ilmiyyah. Dalam pendidiakan klasik, jumlah dan kaliber guru seseorang sangat diperhitungkan, biasanya melebihi apresiasi orang terhadap lembaga tempat seseorang menjalani pendidikannya. Lawatan ilmiyyah ini dilakukan untuk menambah kesempurnaan pengetahuannya.[20]F Sebagai upaya penyebaran ilmu pengetahuan. Rihlah ‘ilmiyyah berperan besar dalam proses penyebaran informasi dalam tradisi intelektual Muslim klasik. Perpindahan para ulama dari satu tempat ke tempat lain secara otomatis berarti pula penyebaran ilmu pengetahuan. [21][1] Louis Ma’luf , Munjid[2] QS. Al-Quraisy, ayat : 2[3] QS.an-Nisa , ayat: 97.[4] Louis Ma’luf ,[5] Umar Ridha kahhalah, dirasaat al- Ijtima’iyyah fi al-‘ushur al-Islamiyyah,(dimasyq: 1973), h.54.[6] Ibn Khaldun, Muqaddimah ibn Khaldun, Juz: 2, h.285.[7] ‘Abd al-Muhsin al-‘Ibaad, Imam al-Bukhari wakitabuhu jami’ash-Shahih, Juz: 1, h. 3.[8] Az-Zirkli, Al-‘Alaam Qamus Tarajim li Asyhur ar-Rijal min al-‘Arb wa al-Musta‘ribiin wa al-Mustasyriqin, Vol.I, (Beirut: Dar al-Kutub ‘Ilmiyyah, 1987), h.44.[9] Muhammad Idris asy-Syafi’I, al-Umm, Juz: 1, h.7.[10] Abu Faraj ibn al-Jauzi, Al-Muntazam:Fi Tarikh al- Muluk wa al-Umam, Vol.I, (Haydarabad: Da’irah al-Maariif, 1983), h.26.[11] Mehdi Nakoosteen, Kontribusi ….[12] Azyumardi azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulaun Nusantara abad ke-17 dan ke-18, (Prenada Mulia: 2004, 230-231.[13] Keberangkatanannya ke Banjar adalah atas anjuran sultan Tahlilillah. Di bawah patronasenya juga al-Banjari diberikannya rumah sebagai tempat tinggalnya selama belajar di Mekah yang terletak di daerah Syamiah yang dikenal dengan Berhat Banjar. Abu Daudi: Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, (Dalampagar: npb, 1991)h.2-3.[14] Abu Daudi, ibid, h.25-27.[15] H.A.Gazali Usman, Kerajaan Banjar: Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama Islam Banjarmasin : Badan Penerbit Universitas Lambung Mangkurat , 1994, h.[16] Abu Daudi, h. 33-34.[17] Umar Ridha kahhalah, dirasaat al- Ijtima’iyyah fi al-‘ushur al-Islamiyyah,(dimasyq: 1973), h.45.[18] Muhammad Idris asy-Syafi’I, al-Umm, Juz: 1, h.8.[19] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Hidakarya Agung: Jakarta, 1992), h.125.[20] Hasan Asari, Menguak Sejarah Mencari ‘Ibrah, (Citapustaka Media: Bandung, 2006), h.208.[21] J. Pedersen, Fajar Intelektualisme Islam Buku dan Sejarah Penyebaran Informasi di Dunia Arab, terj. Yuliani Lipuo (bandung: Mizan, 1996), h.36.

0 Responses to “Rihlah 'Ilmiyyah dalam Tradisi Islam”

Posting Komentar