Senin, 02 Februari 2009

Refleksi Sosial dalam ibadah

Makna Ibadah Dalam Refleksi Sosial
Fatma Yulia

Ibadah dalam pengertian yang sering dipahami oleh umat Islam adalah ibadah dalam pengertian yang lebih khusus yakni pengabdian kepada Allah dalam bentuk yang paling pribadi yakni sholat , puasa, membayar zakat dan haji. Pemahaman ini diambil dari teks dasar Alquran bahwa“jin dan manusia diciptakan untuk beribadah kepada-Nya” (Q.S. Al Dzaariyat, dan “semua utusan Tuhan diperintahkan untuk mengajak maniusia beribadah kepada Allah” (Q.S. Al Bayyinah,) dari makna khusus ibadah tersebut dapat dikembangkan ibadah dalam arti yang universal karena kehidupan mencakup seluruh aspek yang dibutuhkan manusia seperti berdagang, bertani dan bekerja, mencari ilmu dan sebagainya guna mempertahankan dan mengembangkan kehidupan itu sendiri.
Jamal al Banna dalam Nahwa Fiqh Jadid, menyatakan bahwa ibadah adalah seluruh tindakan amal yang dicintai Allah. Al Dailami, mengutip ucapan Hasan bin Ali bin Abi Thalib dalam Kasyf al Khafa mengatakan : “Ada 70 pintu ibadah, dan yang paling utama adalah mencari kehidupan (rizki) yang halal. Karena itu tolong menolong dan kerjasama antara individu dan antar masyarakat, membantu orang-orang miskin dan orang-orang yang tertindas, menegakkan keadilan, mendirikan pemerintahan yang bersih dan sebagainya merupakan ibadah dan menjadi misi keagamaan dalam Islam.
Bentuk-bentuk pengabdian kepada Allah secara personal atau ibadah individual sesungguhnya merupakan cara menghadirkan Allah dalam diri muslim dan menanamkan kesadaran kepada mereka akan fungsinya sebagai hamba Allah untuk pada gilirannya mampu merefleksikan dan mengaktualisasikan fungsi-fungsi tersebut di atas dalam kehidupan mereka sehari-hari. Ibadah personal dengan begitu sesungguhnya tidak dimaksudkan untuk dirinya sendiri melainkan untuk kepentingan social dan kemanusian yang lebih luas. Dalam bahasa al Qur-an, Islam dengan seluruh perangkat aturannya dihadirkan untuk manusia dan untuk mewujudkan kerahmatan dan kemaslahatan (kebaikan/kesalehan) di antara mereka. Inilah sejatinya makna ibadah dalam Islam.
Efek ganda Ibadah individual
Teks-teks agama yang berkaitan dengan urusan ibadah individual selalu memperlihatkan fungsi dan tugas ganda. Pada satu sisi ia merupakan cara manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah, membersihkan hati dan membebaskan diri dari ketergantungannya kepada selain Allah, tetapi pada sisi yang lain menyatakan tuntutan kepada manusia untuk melakukan tanggung-jawab sosial dan kemanusiaan.
Dalam hal shalat misalnya, Alqur-an menyatakan : “Dan dirikanlah shalat untuk mengingat-KU”. Ayat lain menyatakan: “Sesunguhnya shalat mencegah manusia dari berbuat keji dan kemunkaran”. Pernyataan paling jelas diungkapkan dalam surah al Ma’un : “Apakah kamu mengetahui orang yang mendustakan agama?. Itulah orang yang tidak perduli terhadap anak yatim, tidak memberikan makan kepada orang miskin. Maka celakalah orang-orang yang shalat. Yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, yakni orang yang riya dan orang yang tidak mau memberikan sesuatu yang berguna (bagi orang lain)”.
Puasa disamping merupakan proses menghadirkan Allah ke dalam diri, ia juga merupakan cara bagi diri manusia yang menjalankannya untuk dapat mengendalikan kecenderungan-kecenderungan egonya yang seringkali menuntut dan mendesakkan kehidupan hedonistic (inna al nafsa laammarah bi al suu). Alqur-an menyatakan dengan sangat jelas bahwa puasa ramadhan diwajibkan kepada orang-orang yang percaya kepada Allah sebagai cara untuk membentuk dan melahirkan pribadi-pribadi yang bertaqwa.(Q.S. Al Baqarah 183).
Zakat dinyatakan oleh Nabi sebagai cara membersihkan diri dari kesalahan dan dosa, tetapi juga aksi pemberian makan bagi orang-orang miskin dan orang-orang yang menanggung beban hidup yang berat, yang tertindas dan yang menderita lainnya. Dalam bahasa yang lebih umum zakat merupakan bentuk paling nyata bagi keharusan pribadi-pribadi muslim mewujudkan solidaritas sosial dan kemanusiaan.
Dengan begitu menjadi jelas bahwa kesalehan individual yang diajarkan Islam selalu menuntut lahirnya efek-efek kesalehan sosial. Ketika ibadah individual tidak melahirkan efek kesalehan sosial dan kemanusiaan, bahkan melahirkan sikap-sikap hidup negatif atau destruktif terhadap kepentingan sosial kemasyarakatan, maka bisa dikatakan sebagai sebuah kebangkrutan agama. Nabi saw pernah menyinggung persoalan ini dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Tirmizi dari Abu Hurairah. “Apakah anda tahu siapa orang yang bangkrut (muflis)?. Para sahabat nabi mengatakan :orang yang bangkrut (muflis) di antara kami adalah orang yang tidak punya uang dan harta benda. Nabi bersabda : “Orang yang bangkrut dari kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa amalan-amalan ibadah shalat, puasa dan zakat. Tetapi pada saat yang sama ia juga datang sebagai orang yang pernah mencaci maki orang lain, menuduh orang lain, makan harta orang lain, mengalirkan darah orang lain, memukul orang lain. Maka orang-orang lain tersebut (yang dizaliminya) akan diberikan pahala kebaikan dia (pelaku/al muflis). Ketika seluruh kebaikannya habis sebelum dia dapat menebusnya, maka dosa-dosa mereka akan ditimpakan kepadanya, kemudian dia sendiri dilemparkan ke dalam neraka. Dalam banyak teks agama disebutkan bahwa ibadah individual seperti shalat dapat dipercepat atau dibatalkan ketika berhadapan dengan penderitaan orang lain. Nabi saw pernah bersabda: “Jika seseorang menjadi imam shalat bagi orang lain, maka hendaklah mempercepat shalatnya, karena di antara para makmum boleh jadi ada orang yang lemah, orang yang sakit dan orang tua. Jika dia shalat sendirian maka ia berhak berlama-lama”.( Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat yang lain Nabi pernah bersabda: “Aku betul-betul ingin shalat berlama-lama. Tetapi aku kemudian mendengar tangisan seorang bocah. Maka aku segerakan shalatku karena aku tidak ingin menyusahkan ibunya”. (Bukhari). Kita juga dapat membaca serta memahami baik dalam al Qur-an maupun hadits Nabi saw tentang sanksi-sanksi yang dikenakan terhadap para pelanggar hukum baik dalam bentuk fidyah, diyat atau kifarat. Sanksi atas pelanggaran sumpah, misalnya, dikenakan sanksi ; memberi makan orang-orang miskin, atau memberikan pakaian atau membebaskan orang yang tertindas (budak). (Q.S. Al Maidah, 89). Bila seseorang tidak mampu berpuasa karena sakit atau bepergian jauh atau hal-hal yang memberatkan lainnya, maka ia dikenakan fidyah (denda) berupa memberi makan orang miskin.(Q.S. Al Baqarah, 183). Seorang suami yang melanggar “zhihar”, ia dikenakan sanksi membebaskan budak atau memberikan makan 60 orang miskin.(Q.S. Al Mujadilah,3-4). Suami isteri yang melakukan hubungan seksual pada siang bulan Ramadhan dengan sengaja berdasarkan hadits Abu Hurairah dikenakan sanksi membebaskan budak, atau memberi makan 60 orang miskin. Seluruh sanksi agama ini hasilnya lebih memperhatikan hasilnya bagi kemaslahatan sosial.
Ibadah Sosial lebih luas
Dari Alqur-an maupun hadits Nabi SAW diketahui bahwa dimensi pengabdian atau ibadah sosial dan kemanusiaan dalam Islam sesungguhnya jauh lebih luas dan lebih utama dibandingkan dengan dimensi ibadah personal. Dalam teks-teks fiqh klasik kita dapat melihat bahwa ibadah personal merupakan satu bagian dari banyak bidang keagamaan lain seperti mu’amalat madaniyah, munakahat (al Ahwal al Syakhshiyyah), Jinayat (pidana), Qadha (peradilan) dan Imamah (politik). Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari, sebuah kitab hadits paling populer, misalnya hanya mengupas persoalan ibadah dalam empat jilid dari dua puluh jilid yang menghimpun bab lainnya. Ini jelas menunjukkan bahwa perhatian Islam terhadap persoalan-persoalan publik jauh lebih besar dan lebih luas daripada perhatian terhadap persoalan-persoalan personal.
Dalam sebuah kaidah fiqh disebutkan: “al Muta’addi afdhal min al Qashmr”.(Amal ibadah yang membawa efek lebih luas lebih utama daripada amal ibadah yang membawa efek terbatas). Al Ghazali dalam Bidayah al Hidayah mengungkapkan : “al Naf’ al muta’addi a’zham min al naf’ al qashir” (ibadah yang memberi manfa’at yang menyebar lebih utama daripada ibadah yang membawa manfa’at kepada diri sendiri).Terhadap hal ini Abu Ishak al Syirazi dan Imam al Haramain mengatakan bahwa orang yang melaksanakan kewajiban kolektif (fardhu kifayah) akani memiliki nilai lebih dibandingkan orang yang melaksanakan kewajiban individual (fardhu ‘ain) karena kewajiban kolektif dapat membebaskan kesulitan orang banyak

0 Responses to “Refleksi Sosial dalam ibadah”

Posting Komentar