Sabtu, 18 Mei 2013

MEMASUKI TAHUN BARU PENUH OPTIMISME


Wahai orang-orang yang beriman, Bertaqwalah kepada Allah (dengan mengerjakan suruhanNya dan meninggalkan laranganNya); dan hendaklah tiap-tiap diri melihat dan memerhatikan apa yang ia telah sediakan (dari amal-amalnya) untuk hari esok (hari akhirat). Dan (sekali lagi diingatkan): Bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Amat Meliputi PengetahuanNya akan segala yang kamu kerjakan. “ (QS. Al-Hasyr (59) : 18)

Tanpa terasa perjalanan bumi mengelilingi matahari, manusia dihadapkan dengan pergantian hari demi hari, tahun demi tahun, jam demi jam sampai detik demi detik. Semuanya ini merupakan dinamika dari hidupnya ruh dalam diri manusia. Maha suci Allah yang telah menciptakan sistem siklus kehidupan, malam berganti siang, hari berlalu menyusun minggu, hitungan bulan membentuk tahun. Tahun baru 1 Muharram 1432 Hijrah kini tiba. Berbagai acara digelar untuk menyambutnya, seperti seminar keislaman, Tabligh Akbar, kegiatan yang bernuansa keislaman dan sebagainya demi memeriahkan tahun baru milik kaum Muslimin. Tahun baru Islam adalah momentum yang baik sebagai sarana untuk melakukan introspeksi diri (muhâsabah) atau evaluasi diri, sejauh mana keinginan kita untuk menemukan dan memperbaiki berbagai kekurangan kita di masa lalu serta sejauh mana waktu dan kesempatan yang telah diberikan oleh Allah SWT dalam mengarungi kehidupan ini dapat dimanfaatkan dan lebih bermakna. Baik itu berkaitan dengan hubungan manusia dengan Sang Khalik (hablum minallâh) maupun antara manusia dengan sesama manusia serta alam semesta (hablumminannâs walbî’ah). Pergantian tahun terkadang begitu saja berlalu, tanpa sedikitpun memberikan kesan dan pelajaran. Seolah-olah hidup tak lebih dari sekedar menikmati hak yang diberikan Allah SWT, tanpa nilai tanpa tanggungjawab. Betapa banyak peluang yang terbuang. Betapa banyaknya waktu berlalu tanpa nilai. Maha benar Allah dalam firman-Nya, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya menaati kebenaran dan menatapi kesabaran,” (QS. Al-‘Ashr (103) :1-3). Sejauh apa pun waktu ke depan, jauh lebih dekat daripada satu detik yang lalu. Karena waktu yang berlalu walaupun satu detik tidak akan bisa dimanfaatkan lagi dan tidak pernah kembali. Ia sudah jauh meninggalkan kita. Begitupun dengan berbagai kesempatan yang kita miliki. Kalau kesempatan itu lewat maka hilanglah sudah momentum yang bisa diambil, karena belum tentu kita bisa berjumpa pada hari esok. Kalau kita menganggap remeh sebuah ruang waktu, sebenarnya kita sedang membuang sebuah kesempatan. Kalau pergi, kesempatan tidak akan kembali. Ia akan pergi bersama berlalunya waktu.

Dalam Alquran disebutkan bahwa orang-orang beriman selalu memaknai dan memanfaatkan waktu. Orang beriman akan menganggap bahwa waktu adalah pahala dan mengisinya dengan berbagai aktifitas dakwah dan rutinitas beramal, baik amal ibadah maupun amal sosial. Rasulullah saw bersabda ” Sebaik-baik manusia ialah orang yang dipanjangkan umurnya dan banyak amal ibadahnya”. Sesungguhnya sangat banyak hal yang bisa kita lakukan dalam mengisi ruang waktu yang disediakan Allah Swt hanya saja apakah manusia itu memiliki kemampuan untuk mengisinya dengan amalan-amalan yang berkualitas dan penuh optimisme dalam rangka pencapaian kualitas amal tersebut.

Tahun ini saja bangsa Indonesia dihadapkan dengan berbagai musibah bencana alam yang terjadi secara beruntun sepertinya kita mengalami hari-hari yang penuh kesedihan dan berkabung (ayyâmul ahzân wal hidâd) pelecehan harga diri bangsa dengan banyaknya penyiksaan yang dilakukan terhadap TKI dapat dijadikan media bermuhasabah, kenapa hal itu bisa terjadi? Keterpurukan kita saat ini sangat jelas antara lain karena terjadinya disharmoni hubungan komunikasi kita dengan Allah dan buruknya hubungan kita dengan sesama khususnya dengan lingkungan hidup. Buruknya muamalah kepada sesama makhluk berkaitan erat dengan renggangnya hubungan kita kepada Allah. Banyak dari kita berpaling dari-Nya, sehingga berakibat buruknya pergaulan kita dengan sesama.

Pergantian tahun sebenarnya memiliki makna berkurangnya jatah waktu, bertambahnya umur, semakin dekat dengan kematian dan semakin dekat dunia kiamat. Begitu banyak waktu terbuang, mengisi hari-hari hanya digunakan untuk santai, hura-hura, pesta pora, bahkan kadang digunakan untuk kemaksiatan. Betapa kita lebih mudah menghitung kelalaian dan kemaksiatan yang kita kerjakan daripada keshalihan yang kita tularkan.

Bekilas balik dengan peristiwa tahun lalu maka dalam tahun baru ini, kita senantiasa berusaha untu menjadi hamba Allah SWT yang taat akan perintahnya, dengan menjalankan semua kewajiban dan menjauhi segala larangannya. Dan bukanlah Allah SWT telah berfirman bahwa manusia adalah hambanya yang memiliki tugas untuk beribadah. Kalaulah di tahun-tahun lalu kita masih sering melakukan berbagai kekurangan, maka marilah kita kejar kekurangan-kekurangan itu dengan semangat memperbaiki diri menuju kesempurnaan, baik itu dalam beribadah, bekerja, bermasyarakat, dan berkreasi.

Introspeksi diri dalam menyambut tahun baru hijriah, adalah sangat-sangat perlu bagi kita untuk berkaca diri, menilai dan menimbang amalan-amalan yang telah kita perbuat, penilaian dan penimbangan ini bukan hanya untuk mengetahui seberapa besar perbuatan kita. Tapi itu semua dilakukan untuk mengendalikan semua bentuk amalan perbuatan yang hendak kita lakukan dengan penuh pikiran, pertimbangan, dan pertanggung jawaban. Sebab dan terkadang manusia yang tidak pernah bercermin diri bagaikan binatang liar yang terlepas dari jeratan, ia akan berlari dengan sekencang-kencangnya dan melompat dengan sekuat tenaga tanpa menghiraukan kalau itu akan mebahayakannya kembali. Manusia yang demikian akan berbuat sekehendak hatinya, tanpa berpikir dan pertimbangan, yang pada akhirnya ia akan terjatuh ditempat yang sama dan meratapi perbuatannya dengan berulang-lang kali, sungguh malang nasibnya jika setiap tahun ia harus terjatuh dan terjatuh lagi ditempat yang sama.

Dalam peningkatan kualitas dan kuantitas amal kita dalam rangka pencapaian derajat keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, semoga prestasi amal dalam segala aspek kehidupan kita jauh lebih baik daripada tahun-tahun sebelumnya. Dengan masuknya tahun baru hijriah, selayaknya dihayati secara khusus sebagai upaya kebersahajaan dari masing-masing kita untuk merenungkan kelalaian dan kekeliruan, seraya berfikir tentang perubahan bagi diri, keluarga, masyarakat dan negeri kita.
Wallâhu A'lam

ISRÂF DAN TABŻĬR (إسراف وتبذير)

Wahai anak-anak Adam! Pakailah pakaian kamu yang indah berhias pada tiap-tiap kali kamu ke tempat ibadat (atau mengerjakan sembahyang), dan makanlah serta minumlah, dan jangan pula kamu melampau-lampau; sesungguhnya Allah tidak suka akan orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-‘Arâf (7) : 31)
“Dan berikanlah kepada kerabatmu, dan orang miskin serta orang musafir akan haknya masing-masing; dan janganlah engkau membelanjakan hartamu dengan boros yang melampau-lampau. Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara Syaitan, sedang Syaitan itu pula adalah makhluk yang sangat kufur kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isrā’ (17) : 26-27)



Secara etimologis, boros atau melampaui batas dalam bahasa Arabnya adalah isrâf atau tabżīr. Isrâf bentukan dari akar kata sarafa, yang artinya melalaikan, mengabaikan, tidak mengetahui, melewati/melalui, dan memakan daunnya (sarakat as-surfatu as-sajarah). Dapat pula diartikan melampaui batas (jawaza al-had). Jika disebut asrafa al-mal maka sama dengan baźźarahu yang artinya memboroskan atau membuang-buang. Sedangkan pelakunya disebut musrifīn. Sinonimnya adalah at-tabźīr, yang berasal dari akar kata baźźara artinya al-habba yang berarti menabur (benih), menanam, menumbuhkan, tumbuh-tumbuhan, menyebarkan, memboroskan dan menghambur-hamburkan harta. Orang yang menghambur-hamburkan harta disebut al-mubaźiru. Jika kata tabźīr dipergunakan dalam kalimat: baźźara al-mal tabźīran (menghambur-hamburkan harta), maknanya satu akar kata dengan israfan dan badzratan. Sebenarnya kedua kalimat ini yaitu isrâf dan tabżīr memiliki makna yang sama meskipun penggunaannya terkadang juga berbeda melihat sandaran ayat yang melekat pada masing-masing kalimat ini.


Berkaitan dengan sikap boros (isrāf dan tabźīr), ada sementara kalangan yang mengatakan bahwa haram hukumnya membelanjakan harta dalam jumlah besar meskipun dalam hal-hal yang mubah. Pernyataan ini didasarkan pada riwayat yang dikeluarkan oleh sahabat Abdullah bin Umar. Beliau mengatakan pernah Rasulullah melewati Sa’ad yang ketika itu sedang berwudhu. Beliau berkata, "Untuk apakah berlebih-lebihan ini wahai Sa’ad?". Maka jawabnya, "Apakah dalam berwudhu ada berlebih-lebihan?". Jawab Rasul, "Ya. Sekalipun kamu berada di sungai yang mengalir". (HR. Abu Dardâ’).

Ajaran-ajaran Islam menganjurkan pola konsumsi dan penggunaan harta secara wajar dan berimbang, yakni pola yangtidak terletak diantara kekikiran dan pemborosan. Konsumsi di atas dan melampaui tingkat moderat (wajar) dianggap isrâf dan tidak disenangi Islam. Salah satu ciri penting dalam Islam adalah bahwa ia tidak hanya mengubah nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat tetapi juga menyajikan kerangka konstruktif yang perlu untuk mendukung dan memperkuat tujuan-tujuan ini dan menghindari penyalahgunaannya. Ciri khas Islam ini juga memiliki daya aplikatifnya terhadap kasus orang yang terlibat dalam pemborosan atau tabzîr. Dalam hukum (Fiqh) Islam, orang semacam itu seharusnya dikenai pembatasan-pembatasan dan, bila dianggap perlu, dilepaskan dan dibebaskan dari tugas mengurus harta miliknya sendiri.

Perbuatan untuk memanfaatkan atau mengkonsumsi barang-barang yang baik itu sendiri dianggap sebagai kebaikan dalam Islam, karena kenikmatan yang diciptakan Allah untuk manusia adalah dalam rangka ketaatan kepada-Nya. Allah menganugerahkannya kepada Bani Adam sebagaimana termaktub dalam surat Al-‘Arâf ayat 31 Wahai anak-anak Adam! Pakailah pakaian kamu yang indah berhias pada tiap-tiap kali kamu ke tempat ibadat (atau mengerjakan sembahyang), dan makanlah serta minumlah, dan jangan pula kamu melampau-lampau; sesungguhnya Allah tidak suka akan orang-orang yang melampaui batas. Konsumsi dan pemuasan (kebutuhan) tidak dikutuk dalam Islam selama keduanya tidak melibatkan hal-hal yang tidak baik atau merusak.

Dalam Alquran kata isrâf dan musrifîn disebut sebanyak 23 kali dalam 21 ayat. Sedangkan at-tabźìr disebut dalam QS. Al-Isra’ [17] ayat 26-27 sebanyak 3 kali. Kata isrâf dan musrifîn disebutkan dalam Alquran dalam banyak arti. Alquran menyatakan kata musrifîn dengan makna mu’ridin ‘an dzikrillah (melalaikan dzikir kepada Allah, QS. Yunus [10]:12), orang yang keburukannya melebihi kebaikannya (QS. Al-Mukmin [40]: 43). Kata musrifîn bisa pula diartikan mufsidīn (pembuat kerusakan, QS. Asy-Syu’arâ [26]: 151-152). Hanya saja kata isrāf lebih banyak bermakna infak (membelanjakan harta) untuk perkara maksiat. Dengan demikian jika kata isrāf disebut bersamaan dengan kata infak, maknanya adalah memberikan harta untuk tindakan maksiat.

Sedangkan al-tabźîr bermakna tunggal yaitu menghambur-hamburkan harta secara boros. Para ulama telah sepakat bahwa secara syar’i makna kata isrāf dan at- tabdżîr adalah membelanjakan harta untuk perkara-perkara yang dilarang Allah. Isrāf dan tabdżîr dalam pandangan Islam bermakna at-tabdżîr -linfaq fil haram wal ma'asiy (infaq/membelanjakan uang dalam hal yang haram dan maksiat). Imam Qurthubi dalam tafsirnya menulis bahwa yang dimaksud isrāf adalah membelanjakan harta di jalan selain Allah, dan barang siapa yang berpaling dari ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla disebut kikir (al-iqtār), dan barang siapa yang membelanjakan harta dalam rangka ketaatan kepada Allah disebut al-qawam. Sifat ini termaktub dalam surat Al-Furqan aya 67 yang menjelaskan tentang sifat ‘ibādurrahmān (hamba-hamba yang Maha Pengasih).

Ibnu Abbas mengatakan: "Barang siapa yang membelanjakan seratus ribu dirham dalam ketaatan bukanlah isrāf, sebaliknya barang siapa yang membelanjakan satu dirham dalam kemaksiatan adalah israf. Dan siapa yang mencegah dirinya dari membelanjakan hartanya maka ia kikir (al-qatr)". Senada dengan pendapat itu adalah pendapat Mujahid, Ibnu Zaid dan selain dari keduanya. Demikian pula pendapat Ibnu Mas’ud ra ketika menafsirkan surat al-Isra’ [17] ayat 26-27.

Qatadah mengatakan bahwa "menghambur-hamburkan harta adalah menginfakkannya dalam kemaksiatan kepada Allah". Mujahid juga mengatakan "andaikan ada seorang laki-laki menafkahkan harta sebesar gunung ini dalam ketaatan kepada Allah, tidaklah ia tergolong pemboros. Jadi kalau dia menafkahkan satu dirham dalam kemaksiatan kepada Allah maka dia memang tergolong pemboros". Dengan demikian, sedikit atau banyaknya harta yang dikeluarkan bukan menjadi ukuran penghamburan, melainkan dilihat dalam hal apa harta itu dibelanjakan.



Wallâhu A'lam bishshawwâb

Hikmah ilmiah pada sayap lalat


Hikmah Ilmiah Dalam Hadis Rasulullah Saw Dalam Sayap Lalat

Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Apabila lalat masuk/ terjatuh ke dalam minuman salah seorang di antara kalian, maka celupkanlah (lalat itu) kemudian buanglah, karena sesungguhnya pada salah satu sayapnya ada penyakit (racun) dan pada sayap yang lainnya ada penawarnya.” (HR. Bukhari).

Penggalan hadis ini dapat dilihat dalam kitab subulus salām dalam bab thaharah bagian jatuhnya lalat dalam sebuah makanan. Lalat termasuk serangga yang hidup di tempat yang kotor dan memakan makanan yang kotor. Bahkan keberadaannya selalu menganggu ketenangan manusia. Kita akan menguber-nguber lalat apabila ia hinggap dan terbang di sekitar kita . Bukan itu saja lalat juga meninggalkan kesan yang tidak baik dalam diri kita dengan bintik hitam yang ukurannya kecil ataupun besar dan kita sering menyebutnya dengan ‘tahi lalat’. Anehnya lagi keberadaan bintik hitam ini selalu dikaitkan dengan sifat seseorang, misalnya tahi lalat di kening menandakan orang yang suka berpikir atau banyak pikiran, tahi lalat di bibir menandakan seseorang itu cerewet dan banyak bicara, atau tahi lahi lalat di tangan menandakan seseorang itu boros atau rajin bersedekah dan sebagainya. Orang boleh saja bebas menerjemahkan apa yang diamati karena manusia itu memiliki akal untuk berpikir dan menuangkan hasil pikirannya dalam berbagai untaian kata dan kalimat. Memang manusia diperintahkan untuk selalu berpikir terhadap ciptaan Allah “ berpikirlah kamu tentang penciptaan Allah dan jangan berpikir tentang zat Allah.”
Diantara makhluk Allah yang menjadi bahan pikiran kita adalah lalat. Lalat disamping namanya memiliki konotasi yang tidak baik ternyata juga memiliki kontribusi dalam menyumbangkan obat. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari tersebut diceritakan bahwa lalat jatuh ke dalam sebuah minuman , lalu Rasulullah saw memerintahkan agar lalat tersebut di celupkan ke dalam air. Alasan Rasulullah Saw memerintahkan demikian karena diantara kedua sayap dari lalat tersebut mengandung obat dan kita tidak tahu bagian sayap yang mana terletak obat tersebut, sehingga racun yang ada dalam sayap lalat tersebut dapat dinetralisir oleh obat pada sayap yang lainnya. Setelah dicelupkan maka lalat tersebut langsung dibuang.
Lalat meskipun binatang yang kotor dan hidup di tempat yang kotor apabila jatuh ke dalam makanan atau minuman, maka makanan tersebut tidak bernajis karena lalat termasuk binatang yang tidak mengalir darahnya. Hadis ini juga sebagai dalil bahwa lalat itu binatang yang tidak bernajis karena makanan atau minumam yang dijatuhinya tidak dibuang tetapi daerah sekitar yang dihinggapinya tersebut boleh dibuang . Adapun menumpahkan atau membuang minuman tersebut merupakan bentuk (tabźīr) yang dilarang karena syari’at Islam bukan hanya berlaku untuk generasi (zaman) tertentu atau bangsa tertentu saja tetapi segala zaman. Terkadang minuman atau makanan itu memiliki nilai yang sangat berharga pada suatu zaman, tempat atau bangsa tertentu yang pada mereka sangat sulit memperoleh makanan ataupun minuman. Sesungguhnya Rasulullah Saw dapat memprediksikan keadaan umatnya ke masa depan karena Allah menurunkan ilmu dan wahyu yang mulia kepada beliau. Namun demikian lalat tidak boleh dimakan.
Dalam hadis ini juga Rasulullah terlebih dahulu menyebutkan penyakit kemudian obat. Ini menandakan bahwa sebelum diturunkan kepada manusia itu penyakit, sesungguhnya Allah juga menurunkan kepadanya obat. Sesungguhnya pada lalat terkumpul dua hal yang kontroversi (saling bertentangan) yaitu antara penyakit dan obat. Jika dilihat dalam skala yang lebih besar lagi sesungguhnya apa yang diciptakan oleh Allah ini memang semuanya berpasang-pasangan dan saling berlawanan menunjukkan aspek keseimbangan. Manusia tidak akan dapat hidup dengan sesuatu yang sifatnya tunggal. Yang tunggal itu hanyalah Allah yang tidak tergantung kepada apapun dan makhluk apapun.
Berdasarkan fakta ilmiah hadis Rasulllah Saw ini dibuktikan oleh para ilmuwan, dengan mempelajari berbagai jenis serangga yang ada dibumi. Mereka menemukan dahsyatnya dan kehebatan serangga–serangga yang menakjubkan diantaranya adalah lalat. Berdasarkan penemuan mereka atas keajaiban pada serangga mereka mengatakan bahwa didalam setiap sayap seekor lalat itu terdapat fungsi – fungsi elevator dan fungsi – fungsi depressor, yaitu fungsi mengangkat dan menurunkan sayapnya. Sayap itu bergerak 200 hingga 400 kali setiap detiknya dan gerakan lalat yang sangat menakjubkannya itu selalu bergerak dalam bermenit – menit atau berjam – jam.
Gerakan otot yang sedemikian cepatnya menggerakkan sayap seekor lalat yang sangat kecil. Menurut para ilmuwan dari Australia, seekor lalat itu terbukti pada sebelah sayapnya ditemukan 1 gen refilin yaitu gen yang mempunyai 2 fungsi yakni fungsi pada industri dan fungsi pada kesehatan. Fungsi industri ini mengandung gen refilin yang lebih dahsyat dan lebih kuat dari semua jenis karet yang ada yang telah dibuat oleh banyak orang di muka bumi ini. Gen refilin yang ada di sayap lalat itu lebih kuat dan lebih hebat jika dipakai sebagai karet karena ia mempunyai daya dorong dan daya tekan yang sangat kuat serta daya pental yang demikian dahsyat. Sedangkan dalam fungsi kesehatannya gen refilin itu merupakan satu gen yang bisa mengobati penyakit – penyakit yang ada pada syaraf – syaraf arteri, pada syaraf – syaraf meina. Syaraf arteri yang banyak terjadi penyumbatan, gen – gen refilin yang ada di sayap seekor lalat itulah yang dapat mengobatinya.
Demikian indahnya dan demikian sempurnanya dan demikian jeniusnya Rasulullah Muhammad Saw. Jika jatuh lalat pada minuman kalian, tenggelamkan ia. Maksudnya agar gen–gen refilin yang ada di sayapnya itu supaya bertebaran dalam air yang dijatuhinya hingga menjadikan air tersebut terbebas daripada bakteri – bakteri yang ada pada sayap lainnya.
Manusia melihatnya dan menelitinya selama puluhan tahun dan dalam melihatnya juga menggunakan bantuan mikroskop sementara itu Rasulullah Muhammad Saw sudah mengetahuinya tanpa melakukan penelitian ataupun melihatnya melalui alat bantu mikroskop bahwa pada sayap lalat itu ada gen penyembuh, ada gen penyakit sampai butiran gen dan sel yang ada disayap lalat diketahui oleh Rasulullah Muhammad saw. Tentu saja pengetahuan Rasulullah Saw ini semuanya atas petunjuk dari Allah Swt sebagai sang Maha Pencipta segala sesuatu dan Maha Mengetahui akan seluk beluk ciptaanNya. Lebih mengherankan lagi bahwa yang banyak melakukan penelitian atas hadis –hadis Nabi menjadi sains modren adalah orang-orang Barat yang mayoritas tidak beragama yang kalaupun beragama maka sedikit sekali yang muslim. Bagaimana dengan kita umat Muhammad? Apa yang telah kita teliti dari hadis-hadis Rasulullah Saw untuk menemukan sains modren yang dapat membuat kita semakin memperteguh keimanan dan keyakinan bahwa Islam melalui risalah Rasulullah Saw memang agama yang tinggi yang tidak ada yang lebih tinggi daripadanya. (al-Islāmu ya’lu wa lā yu’lā ‘alaihi). Wa ilāllāhi turja’ul umūr.



Wallâhu’alam bishawwâb

Daftar Kontak


Bagi yang berminat dengan tulisan saya mohon kontak sebelum mengcopy

لمن أراد أن ينسخ  هذا الدرس يرجى أن يتصل بعنوان الأتي. 


Name:  FATMA YULIA 








Kamis, 09 Mei 2013

Senin, 06 Mei 2013

Dinamika Intelektual Pada Masa Dinasti MUwahhidun (524-667/1126-1269)

TRADISI INTELEKTUAL MUSLIM PADA MASA DINASTI MUWAḤḤIDŪN (Telaah Historis Tentang Dinamika Pendidikan Islam Pada Masa Ya’qūb Al-Manṣūr) A. PENDAHULUAN Selama ini sejarawan hanya tertarik membahas jasa-jasa dalam bidang politik dan militer dinasti-dinasti Islam yang mempunyai nama besar seperti ‘Abbāsīyyah, Amawīyyah dan Fāțimīyyah. Jasa-jasa dalam hidupnya suatu peradaban, budaya serta pendidikan dari dinasti-dinasti kecil nampaknya kurang mendapat perhatian mereka. Hal ini tercermin dri sedikitnya literatur yang membicarakan tentang dinasti-dinasti kecil tersebut. Padahal jika ditelusuri lebih mendalam, dinasti-dinasti kecil yang muncul dalm sejarah Islam memiliki peran yang cukup besar dalam memajukan peradaban Islam. Salah satu dinasti kecil tersebut adalah dinasti Muwaḥḥidūn yang muncul di kawasan Afrika Utara tepatnya Maroko. Dinasti Muwaḥḥidūn yang dibahas dalam buku ini merupakan satu diantara dinasti-dinasti kecil Islam (Mulūk aț-Țawāif) yang pernah berkuasa di Afrika Utara dan Andalusia (Spanyol). Selama lebih dari satu abad (524-667/1126-1269), dinasti ini memainkan peranan yang amat penting dalam sejarah Islamisasi dan perkembangan intelektual umat Islam khususnya di dunia Islam belahan Barat. Bahkan sebagian kemajuan yang berhasil dicapai dunia Barat merupakan hasil transmisi ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui dinamika keintelektualan pada saat dinasti ini berkuasa. Dinasti Muwaḥḥidūn, dlam literatur Barat dikenal dengan Almohad Dynasty pada mulanya merupakan satu gerakan keagamaan yang bertujuan untuk menegakkan tauhid disamping sebagai gerakan tandingan bagi kaum santri (murābițūn) dalam menolak segala bentuk paham antropomorfisme (tajsīm) yang dianut oleh mereka. Gerakan ini didirikan oleh Ibnu Tūmart (w.524/1130), yang berasal dari kabilah Mosamada salah satu kabilah Berber. Dakwah yang didirikan ini selanjutnya berkembang menjadi sebuah gerakan politik yang bertujuan untuk memperkuat eksistensinya sekaligus bersaing di tengah-tengah dinasti lainnya. Penyalahgunaan kekuasaan oleh dinasti Murābițūn memperkuat keinginan kelompok Muwaḥḥidūn untuk menghancurkan kekuasaan Murābițūn dan menggantikannya dengan dinasti mereka yaitu Muwaḥḥidūn. Penamaan dinasti ini dengan Muwaḥḥidūn didasari atas tujuan utama kelompok ini yaitu purifikasi pemahaman tauhid yang telah tercemar ketika itu. dukungan dari pengikutnya merupakan syarat yang cukup menentukan bagi terbentuknya sebuah pemerintahan. Sebagai pencetus dari berdirinya dinasti ini, Ibnu Tūmart memproklamirkan dirinya sebagai pemimpin dengan gelar al-Mahdī. Sebagai pemimpin dinasti, Ibnu Tūmart mulai melakukan ekspansi ke berbagai wilayah Islam keluar dari basis kekuasannya. Keberhasilan dinasti baru ini menaklukkan einasti yang sedang berkuasa ketika itu yaitu Murābițūn merupakan sebuah tahapan penting dalam usaha menyebarkan ajaran Islam yang benar sekaligus untuk membentuk sebuah peradaban bagi masyarakat Berber. Untuk selanjutnya sejarah dinasti ini menjadi catatan sejarah penting diantara dinasti-dinasti Islam lainnya dalam hal perkembangan peradabannya. ‘Abd al-Mu’min penguasa pengganti Ibnu Tūmart mulai melakukan kebijakan politik dengan melakukan perbaikan mulai dari sistem pemerintahan maupun sosial. Kebijakan politik yang dilakuksn antara lain melakukan ekspansi ke wilayah Andalus dan mengganti bentuk pemerintahan selanjutnya dari demokrasi menjadi monarki. Pada masa ‘Abd al-Mu’min kondisi politik dinasti Muwaḥḥidūn semakin kuat dan stabil. Hal ini mempermudah bagi khalifah ketika itu untuk membangun sebuah peradaban Islam, yang antara lain usaha tersebut dilakukan melalui pendidikan. Puncak kemajuan peradaban dari dinasti ini berrlangsung tepatnya pada masa Ya’qūb al-Manṣūr khalifah keempat dari dinasti Muwaḥḥidūn yang mulai berkuasa mulai tahun 590/1184. Puncak peradaban (‘aṣr aẑ-ẑahab) dinasti Muwaḥḥidūn yang berlangsung pada masa Ya’qūb al-Manṣūr didukung beberapa kebijakan yang berupa patronase kepada lembaga-lembaga pendidikan dan para ilmuwannya dalam memperoleh kebebasan dan kesempatan untuk belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Manifestasi dari kebebasan ini, melahirkan para ilmuwan besar dalam berbagai disiplin ilmu. Selanjutnya para ilmuwan ini memiliki produktivitas untuk melahirkan karya-karya baik dalam bidang ilmu keagamaan (al-‘ulūm an-naqlīyyah), maupun ilmu-ilmu filsafat dan alam (al-‘ulūm al-aqlīyyah). Kemampuan para ilmuwan dalam menguasai berbagai ilmu ini dilandasi atas sebuah pandangan yang menegaskan bahwa menekuni satu bidang ilmu pengetahuan dengan mengabaikan yang lain merupakan ketidaksempurnaan intelek manusia. Sebagian ilmuwan ini memilih untuk mempelajari segalanya dan menekuni profesi di bidang hukum, kedokteran, dan filsafat dalam waktu yang bersamaan. Tanpa patronase khusus dalam hal ini khalifah, maka mereka dapat ditugaskan sebagai hakim (qaḥī quḍāt), dokter pribadi khalifah maupun sebagai pengajar bagi anak-anak pembesar. Pada masa itu diskusi (munāẓarah), debat (jadal) dan pandangan-pandangan baru didorong perkembangannya di dalam kerangka kerja (frame work) ajaran Islam yang dapat menambah kesuburan intelektual dan rasionalisme ilmuwannya. Kepemimpinan lembaga pendidikan yang didirikan oleh khalifah juga berada di bawah kontrolnya. Hal ini merupakan sebuah indikasi tindakan politik yang memunyai pengaruh yang besar pada pendidikan tinggi Islam. Lembaga-lembaga pendidikan memiliki syekh (staf pengajar) yang ditunjuk dan diberhentikan khalifah. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut di satu sisi berada dalam lingkungan masyarakat yang berorientasi keagamaan. Sedangkan di sisi lain lembaga pendidikan tersebut melambangkan keunikan dengan didirikannya sebuah pendidikan tinggi pribadi (swasta), yang lepas dari kontrol khalifah. Keadaan demikian memberikan pengertian tentang relasi (hubungan) antara kehidupan agama yang diwujudkan dalam bentuk pendirian lembaga pendidikan untuk melestarikan sebuah paham keagamaan, kehdupan politik dan wujud pelestarian ideologi penguasa dalam kehidupan sosial dengan indoktrinasi ideologi penguasa tersebut kepada rakyatnya. Dalam hal ini aspek sosial, politik dan agama (social-politico-religious) saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan ketatanegaraan. Selain bentuk patronase, faktor lain yang mendukung peradaban di masa itu adalah kesadaran masyarakatnya untuk memajukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Salah satu bentuk usaha tersebut adalah pemberian beasiswa, pemberian kemudahan akses ke perpustakaan, penyediaan buku-buku serta pencanangan kegiatan wajib belajar (ta’līm al-ijbār) bagi seluruh rakyatnya. Pemberian beasiswa mendorong ilmuwan yang ada ketika itu untuk melakukan penelitian, penulisan dan penerjemahan. Beasiswa ini juga diberikan untuk memberikan kemudahan bagi mereka melakukan seluruh aktivitas keilmuan dengan tenang tanpa terganggu dengam pekerjaan mencari biaya hidup. Bagi para pelajar, beasiswa ini juga mendorong terciptanya atmosfir keilmuan sekaligus memberikan kesan positif bagi terciptanya tradisi intelektual. Pendidikan yang diselenggarakan menjadi dinamis dan memberikan keuntungan yang besar bagi pembentukan komunitas ilmiah. Sejarah secara umum menganggap bahwa al-Ma’mūn dengan bayt al-ḥikmahnya atau Niẓām al-Mulk dengan madrasah Niẓāmiyyahnya yang keduanya berada di Timur serta Jami’ Cordovanya yang berada di Barat (Spanyol) sebagai pembangkit era renaisans di Eropa. Namun jika lebih mendalam sesungguhnya kemajuan yang dirasakan dunia Barat sebagian merupakan kontribusi dari perkembangan ilmu pengetahuan masa dinasti Muwaḥḥidūn. Pendapat ini dapat diperkuat dengan melihat hasil-hasil karya ilmuwan Muslim yang berhasil diterjemahkan oleh ilmuwan Kristen ke bahasa Latin. Dalam buku ini akan difokuskan pembahasannya mengenai karakteristik pendidikan Islam yang berlangsung selama era pemerintahan Ya’qūb al-Manṣūr dari dinasti Muwaḥḥidūn. Pemerintahan Ya’qūb al-Manṣūr merupakan titik kulminasi perkembangan pendidikan yang memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemunculan dan restrukturisasi lembaga-lembaga pendidikan tinggi di Eropa. Di samping itu, penelitian ini juga berusaha menelusuri kehidupan ilmuwan-ilmuwan besar dari budaya Islam yang karya mereka sangat terkenal di dunia Barat dan bertahan sepanjang zaman. Buku ini bukan sekedar untukl mengenang zaman keemasan Islam yang pernah berlangsung , tetapi lebih dari itu untuk merekonstruksi elemen-elemen kejayaan Islam tersebut di tengah arus peradaban Barat. Peradaban Barat yang muncul sebagai gambaran terhadap kontribusi yang sangat besar dari umat Islam dam ilmuwannya. Warisan intelektual dan institusional yang ditinggalkan oleh ilmuwan Muslim pada masa klasik tersebut akan ditelusuri dalam mata rantai sejarah perkembangan pendidikan Islam, khususnya masa Ya’qūb al-Manṣūr dari dinasti Muwaḥḥidūn.
B. Asal Usul Dinasti Muwaḥḥidūn Kemunculan dinasti Muwaḥḥidūn (514/1120) dilatarbelakangi oleh sebuah gerakan keagamaan yang bertujuan untuk memberantas suatu paham keagamaan yang berkembang sebelumnya dan dianut pendahulu mereka yaitu dinasti murābițūn. Paham keagamaan tersebut adalah antrofomorfisme (tajsīm) disertai dengan bid’ah , khurafat dan takhayul yang telah merusak kemurnian ajaran Islam. Dinasti ini berada di kawasan Afrika Utara khususnya kawasan Sus sebelah barat daya kota Marākisy (Maroko sekarang) yang didirikan oleh Muḥammad ibn Tūmart. Dinasti ini dikenal juga dengan nama dinasti Berber, yang dalam literatur Barat disebut dengan nama Al-Mohads (Spanyol : Al-mohades). Bersama ‘Abd al-Mu’min ibn ‘Alī al-Kaumī , keduanya kembali ke Marākisy (Maroko) tepatnya di kota Bijaya (Bougie). Kemudian mulai dari kota ini keduanya menyusun strategi dakwah untuk menentang dinasti Murābițūn. Masyarakat di sekitarnya memberikan dukungan kepada Ibnu Tūmart karena melihat kemurnian dari ajarannya. Inti ajaran dari gerakan ini adalah memberikan kesadaran bahwa dunia ini berada pada dimensi kesucian dan penegak ke-Esaan Tuhan, sehingga gerakan ini dinamakan al-Muwaḥḥidūn (berpaham tauhid, mengesakan Tuhan), sebagai pimpinan dari gerakan ini adalah Muḥammad Ibn Tūmart sendiri dengamn gelar al-Mahdī. Kemasyhuran Ibnu Tūmart terdengar oleh Amīr al-Muslimīn Yūsuf ibn Tasyfīn yang menentang kemunculan gerakan ini. Gerakan Muwaḥḥidūn ini dikenal sangat keras dalam menyebarkan ajarannya termasuk kepada golongan Murābițūn karena dianggap ajarannya telah menyimpang. Penyebaran dakwah dinasti Muwaḥḥidūn pada kenyataannya berbenturan ……………………… kota benteng Algeciras (al-Jazīrah al-Khaḍrā’) dari kekuasaan Murābițūn. Menjelang penghujung tahun 541/1146 beliau telah berhasil menguasai ibukota Seville yaitu ibukota Murābițūn di Andalus, sekaligus mengakhiri kekuasaan dinasti Murābițūn di Andalus. Dua tahun berikutnya 543/1148 pihak Muwaḥḥidūn berhasil merebut benteng Consuegra dan menguasai ibukota Cordova, diteruskan dengan kota Granada dari Castille-Leon (551/1156). Pada tahun 566/1170 secara resmi kota Spanyol berada dalam kekuasaan dinasti Muwaḥḥidūn dengan ibukotanya Seville. Selanjutnya wilayah kekuasaan dinasti Muwaḥḥidūn menjadi luas dan membentang dari wilayah Afrika Utara (Maghrib) hingga Semenanjung Iberia. Wilayah kekuasaan yang luas tersebut menjadikan dinasti ini sering disebut dinasti Muwaḥḥidūn di Maghrib dan dinasti Muwaḥḥidūn di Andalus (Daulah al-Muwaḥḥidīn fī al-Maġrib wa al-Andalus). Dimulai dari dua tempat inilah selanjutnya peradaban Islam di Barat mulai berkembang setwlah kejatuhan dinasti Amawīyyah di Andalus. Hasil dari perkembangan ilmu yang berkembang di wilayah ini memberikan inspirasi atas kebangkitan kembali bagi bangsa Eropa dan renaisansnya. Kejatuhan dinasti Muwaḥḥidūn di Andalus ditandai dengan penyerangan aliansi raja Castille Leon, Navarre dan Aragon terhadap pasukan Muwaḥḥidūn pada pertempuran di La Navas de Tolosa 15 Safar 609/17 Juli 1212. Penyerangan ini menyebabkan kekuasaan dinasti Muwaḥḥidūn di Andalus melemah dan kekuasaan amir (gubernur) hanya berbentuk boneka dai pemerintahan pusat di Maroko. Dinasti Muwaḥḥidūn mengalami kejatuhannya ketika terjadi pengusiran umat Islam yang dilakukan penguasa Kristen, setelah berkuasa lebih satu abad ().