Selasa, 13 Januari 2009

Tantangan lembaga Pendidikan Islam

Tantangan lembaga pendidikan Islam dalam Transformasi Budaya
Fatma Yulia
Transformasi sosial budaya berarti modifikasi dalam setiap aspek proses sosial budaya, pola sosial budaya, bentuk-bentuk sosial budaya. Perubahan ini bersifat progresif dan regresif, berencana atau tidak, permanen atau sementara, undirectional atau multidirectional, menguntungkan atau merugikan. Menurut Gillin, perubahan sosial adalah perubahan bentuk-bentuk kehidupan yang telah ada yang terjadi karena kondisi geografis, alat-alat atau perlengkapan hidup manusia, komposisi pendidik dan ideologi (Vembriarto, 1988:8-9). Bentuk- bentuk transformasi sosial budaya dibedakan menjadi tiga bagian yaitu:
evolusi sosial (sosial evolution), perkembangan gradual yaitu, perkembangan wajar karena adanya kerja sama yang harmonis antara manusia dengan lingkungannya. Perubahan ini dibedakan atas:
Evolusi kosmis (cosmis evolution), perubahan alami yang tumbuh berkembang, mundur lalu pudar.
Evolusi organis (organic evolution), perubahan untuk mempertahankan diri dari kebutuhannya dalam lingkungan yang berkembang.
Evolusi mental (mental evolution), suatu yang menyangkut perubahan pandangan dan sikap hidup.
Gerakan sosial (social mobility) yaitu suatu keinginan akan perubahan yang diorganisasikan karena dorongan masyarakat ingin hidup dalam keadaan yang lebih baik dan lebih cocok dengan keinginannya.
Revolusi sosial (social revolution) yaitu suatu perubahan paksaan yang umumnya didahului oleh ketidakpuasan yang menumpuk tanpa pemecahan dan analisis, sehingga jurang antara harapan dan pemenuhan kebutuhan menjadi semakin lebar tak terjembatani.
Transformasi sosial budaya tidak hanya bersifat materil, seperti pembangunan gedung, tetapi juga bersifat moril seperti: perubahan gagasan, ide, pemikiran, cita-cita dan sebagainya. Dalam kristal-kristal pemikiran Islam , terjadi tiga perubahan konsep utama, yaitu:
Konsep westernisasi (mafhum at-taghribi), yaitu konsep yang menginginkan penyesuaian Islam dengan pemikiran dan peradaban Barat dalam berbagai aspeknya, mulai dari masalah akidah, sistem politik, ekonomi, sampai masalah moral. Gerakan Islamisasi ala Kamal attaturk , seperti adzan diganti dengan bahasa Turki adalah salah satu bentuk model ini. Fikrah pertama ini menurut Dr. Muhammad M.Husein menjadikan konflik pemikiran antar sesama umat Islam untuk membedakan mana sebenarnya antara yang Islami dan yang wetern (barat).
Konsep modrenisasi (mafhum at-tajdiid), yaitu konsep yang ingin mengadakan pembaharuan-pembaharuan dalam pemahaman, penafsiran dan perumusan masalah-masalah keislaman, dengan pretensi ingin mengaktualisasikan Islam dalam kehidupan modern. Isu yang paling banyak dikemukakan adalah membuka kembali ijtihad selebar-lebarnya dan menggunakan potensi akal sebesar-besarnya. Liberalisme ijtihad ini semakin parah dan sampai menjalar kepada orang-orang tidak banyak mengerti tentang agama, tetapi berminat untuk ijtihad, sehingga ijtihad menjadi suatu mode tanpa standardisasi dan disiplin tertentu.
Konsep reformasi (mafhum al-islahi). Konsep ini ingin memperbaharui Islam dengan Islam. Pemikiran model ini banyak macamnya dari yang paling kaku dan ekstrim seperti Ibnu Taimiyyah sampai yng moderat dan progresif seperti Muhammad Abduh (Tolchah Hasan, 1987: 103).
Fenomena-fenomena sosial tersebut selanjutnya menjadi tantangan bagi lembaga pendidikan terutama pendidikan formal. Bentuk tantangan yang dihadapi dalam pendidikan Islam adalah :
Politik: kehidupan politik khususnya politik negara banyak berkaitan dengan masalah cara negara itu membimbing, mengarahkan dan mengembangkan kehidupan bangsa jangka panjang. Pengarahan tersebut didasarkan atas falsafah negara yang mengikat semua sektor. Pendidikan yang terdapat pada wilayah merupakan sektor kehidupan budaya bangsa yang mengikat (comitted) dengan tujuan perjuangan nasional yang berdasarkan falsafah negara. Suatu lembaga pendidikan yang tidak bersedia mengikuti politik negara, akan mendapatkan tekanan (pressure) terhadap cita-cita kelembagaan dari politik tersebut. Tantangan ini perlu segera dijawab secara politis fundamental.
Kebudayaan : suatu perkembangan kebudayaan dalam abad modren saat ini tidak dapat terhindar dari pengaruh kebudayaan bangsa lain. Kondisi semacam ini menyebabkan proses akulturasi, yaitu faktor nilai yang mendasari kebudayaannya sendiri sangat menentukan ke-eksistensian kebudayaan tersebut. Nilai-nilai kultural bangsa melemah karena berbagai sebab, bangsa akan mudah terperangkap oleh budaya lain , baik melalui jalan damai (penetration facific) maupun jalan kekerasan dan paksaan (imperatif provokatif). Dalam menghadapi hal yang tidak diinginkan, dibutuhkan sikap kreatif dan wawasan pengetahuan yang dapat menjangkau masa depan bagi eksistensi kebudayaan dan kehidupannya.
Ilmu pengetahuan dan teknologi : teknologi sebagai ilmu terapan merupakan hasil kemajuan kebudayaan manusia yang banyak bergantung pada manusia yang menggunakanya. Apabila teknologi tersebut tidak diimbangi dengan nilai-nilai kemanusiaan, teknologi tersebut akan berdampak negatif bagi kehidupan manusia. Tantangan seperti ini menuntut agar lembaga pendidikan kita mampu mendasari teknologi tersebut dengan norma-norma agama sehingga hasil teknologi manusia berdampak positif bagi kehidupan.
Ekonomi : ekonomi merupakan tulang punggung kehidupan bangsa yang dapat menentukan maju mundurnya, lemah-kuatnya, cepat atau lambatnya suatu proses pembudayaan bangsa. Perkembangan ekonomi banyak diwarnai oleh sistem pendidikan. Demikian juga sebaliknya, disini pendidikan dituntut untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat, sehingga diadakan “ ekonomi pendidikan” sebagai perencanaan pendidikam dalam sektor ekonomi.
Masyarakat dan perubahan sosial : perubahan yang terjadi dalam sistem kehidupan sosial seringkali mengalami ketidakpastian tujuan serta tak terarah tujuan yang disepakati. Disinilah pendidikan sebagai pengarah yang rasional dan konstruktif, sehingga problem-problem sosial dapat dipecahkan mengingat lembaga pendidikan Islam sebagai lembaga kemasyarakatan yang berfungsi sebagai agent of social change.
Sistem nilai : sistem nilai juga dijadikan sebagai tolok ukur bagi tingkah laku manusia dalam masyarakat yang mengandung potensi pengendali , mengatur dan mengarahkan perkembangan masyarakat, bahkan mengandung potensi rohaniah yang melestarikan eksistensi masyarakat. Akan tetapi , kini perubahan masyarakat cenderung untuk menghilangkan nilai tradisi yang ada. Apakah karena naluri manusia ingin mengharapkan hal-hal yang baru ataukah karena kekuatan yang mendesak (pressure power)? Hal ini yang menjadi titik sentral problema yang melahirkan tantangan terhadap lembaga pendidikan yang salah satu fungsinya adalah mengawetkan sistem nilai yang telah dikembangkan dalam masyarakat. (Arifin,1987: 41-45)
Tantangan lembaga pendidikan tersebut mengandung implikasi bahwa lembaga pendidikan Islam mempunyai peran ganda, yakni sebagai pewarisan budaya (agent of conservative), berperan sebagai pewaris budaya melalui pendidikan sistem nilai dan kepercayaan, pengetahuan dan norma-norma, serta adat kebiasaan dan berbagai perilaku tradisional yang telah membudaya diwariskan kepada satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan cara ini, kebudayaan dapat dilestarikan meskipun warga suatu masyarakat berganti-ganti, sedangkan kebudayaan dan sistem sosialnya tetap berlaku. Di pihak lain, lembaga pendidikan berperan sebagai agent of change”, yaitu adanya upaya untuk membuang unsur budaya lama yang dipandang tidak cocok lagi dan perlu memasukkan unsur budaya baru (Adiwikarya, 1988:58). Tegasnya lembaga pendidikan merupakan tempat sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai yang telah membudaya. Oleh karena itu penetapan kurikulum lembaga pendidikan dan tujuannya didasarkan atas nilai-nilai pengetahuan serta aspirasi dan pandangan hidup yang berlaku dan dihormati masyarakat. (Wuradji, 1988:26). Di pihak lain, implikasi transformasi sosial budaya menuntut lebih akrabnya lembaga-lembaga pendidikan dengan institusi-institusi lainnya. Semua itu merupakan mata rantai yang saling mendukung dan berkaitan dengan institusi pendidikan sebagai sentral terhadap institusi lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
Arifin HM, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bina Aksara, cet I, 1987.
Muhammad Tholhah Hasan, Islam dan Persfektif Sosial Budaya, Jakarta: Galasa Nusantara, cet. I, 1987
Sudardja Adiwikarya, Sosiologi Pendidikan, Isu dan Hipotesis tentang hubungan Pendidikan dan Masyarakat, Jakarta: Depdikbud , 1988.
Wuradji M.S, Sosiologi Pendidikan: Sebuah Pendekatan Sosio Antropologi, Jakarta: Dirjrn PPLPTK, 1988..
Vembriarto, Pengantar Perencanaan Pendidikan, Yogyakarta : Andi Offset, 1988.

0 Responses to “Tantangan lembaga Pendidikan Islam”

Posting Komentar