Sabtu, 18 Mei 2013

ISRÂF DAN TABŻĬR (إسراف وتبذير)

Wahai anak-anak Adam! Pakailah pakaian kamu yang indah berhias pada tiap-tiap kali kamu ke tempat ibadat (atau mengerjakan sembahyang), dan makanlah serta minumlah, dan jangan pula kamu melampau-lampau; sesungguhnya Allah tidak suka akan orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-‘Arâf (7) : 31)
“Dan berikanlah kepada kerabatmu, dan orang miskin serta orang musafir akan haknya masing-masing; dan janganlah engkau membelanjakan hartamu dengan boros yang melampau-lampau. Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara Syaitan, sedang Syaitan itu pula adalah makhluk yang sangat kufur kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isrā’ (17) : 26-27)



Secara etimologis, boros atau melampaui batas dalam bahasa Arabnya adalah isrâf atau tabżīr. Isrâf bentukan dari akar kata sarafa, yang artinya melalaikan, mengabaikan, tidak mengetahui, melewati/melalui, dan memakan daunnya (sarakat as-surfatu as-sajarah). Dapat pula diartikan melampaui batas (jawaza al-had). Jika disebut asrafa al-mal maka sama dengan baźźarahu yang artinya memboroskan atau membuang-buang. Sedangkan pelakunya disebut musrifīn. Sinonimnya adalah at-tabźīr, yang berasal dari akar kata baźźara artinya al-habba yang berarti menabur (benih), menanam, menumbuhkan, tumbuh-tumbuhan, menyebarkan, memboroskan dan menghambur-hamburkan harta. Orang yang menghambur-hamburkan harta disebut al-mubaźiru. Jika kata tabźīr dipergunakan dalam kalimat: baźźara al-mal tabźīran (menghambur-hamburkan harta), maknanya satu akar kata dengan israfan dan badzratan. Sebenarnya kedua kalimat ini yaitu isrâf dan tabżīr memiliki makna yang sama meskipun penggunaannya terkadang juga berbeda melihat sandaran ayat yang melekat pada masing-masing kalimat ini.


Berkaitan dengan sikap boros (isrāf dan tabźīr), ada sementara kalangan yang mengatakan bahwa haram hukumnya membelanjakan harta dalam jumlah besar meskipun dalam hal-hal yang mubah. Pernyataan ini didasarkan pada riwayat yang dikeluarkan oleh sahabat Abdullah bin Umar. Beliau mengatakan pernah Rasulullah melewati Sa’ad yang ketika itu sedang berwudhu. Beliau berkata, "Untuk apakah berlebih-lebihan ini wahai Sa’ad?". Maka jawabnya, "Apakah dalam berwudhu ada berlebih-lebihan?". Jawab Rasul, "Ya. Sekalipun kamu berada di sungai yang mengalir". (HR. Abu Dardâ’).

Ajaran-ajaran Islam menganjurkan pola konsumsi dan penggunaan harta secara wajar dan berimbang, yakni pola yangtidak terletak diantara kekikiran dan pemborosan. Konsumsi di atas dan melampaui tingkat moderat (wajar) dianggap isrâf dan tidak disenangi Islam. Salah satu ciri penting dalam Islam adalah bahwa ia tidak hanya mengubah nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat tetapi juga menyajikan kerangka konstruktif yang perlu untuk mendukung dan memperkuat tujuan-tujuan ini dan menghindari penyalahgunaannya. Ciri khas Islam ini juga memiliki daya aplikatifnya terhadap kasus orang yang terlibat dalam pemborosan atau tabzîr. Dalam hukum (Fiqh) Islam, orang semacam itu seharusnya dikenai pembatasan-pembatasan dan, bila dianggap perlu, dilepaskan dan dibebaskan dari tugas mengurus harta miliknya sendiri.

Perbuatan untuk memanfaatkan atau mengkonsumsi barang-barang yang baik itu sendiri dianggap sebagai kebaikan dalam Islam, karena kenikmatan yang diciptakan Allah untuk manusia adalah dalam rangka ketaatan kepada-Nya. Allah menganugerahkannya kepada Bani Adam sebagaimana termaktub dalam surat Al-‘Arâf ayat 31 Wahai anak-anak Adam! Pakailah pakaian kamu yang indah berhias pada tiap-tiap kali kamu ke tempat ibadat (atau mengerjakan sembahyang), dan makanlah serta minumlah, dan jangan pula kamu melampau-lampau; sesungguhnya Allah tidak suka akan orang-orang yang melampaui batas. Konsumsi dan pemuasan (kebutuhan) tidak dikutuk dalam Islam selama keduanya tidak melibatkan hal-hal yang tidak baik atau merusak.

Dalam Alquran kata isrâf dan musrifîn disebut sebanyak 23 kali dalam 21 ayat. Sedangkan at-tabźìr disebut dalam QS. Al-Isra’ [17] ayat 26-27 sebanyak 3 kali. Kata isrâf dan musrifîn disebutkan dalam Alquran dalam banyak arti. Alquran menyatakan kata musrifîn dengan makna mu’ridin ‘an dzikrillah (melalaikan dzikir kepada Allah, QS. Yunus [10]:12), orang yang keburukannya melebihi kebaikannya (QS. Al-Mukmin [40]: 43). Kata musrifîn bisa pula diartikan mufsidīn (pembuat kerusakan, QS. Asy-Syu’arâ [26]: 151-152). Hanya saja kata isrāf lebih banyak bermakna infak (membelanjakan harta) untuk perkara maksiat. Dengan demikian jika kata isrāf disebut bersamaan dengan kata infak, maknanya adalah memberikan harta untuk tindakan maksiat.

Sedangkan al-tabźîr bermakna tunggal yaitu menghambur-hamburkan harta secara boros. Para ulama telah sepakat bahwa secara syar’i makna kata isrāf dan at- tabdżîr adalah membelanjakan harta untuk perkara-perkara yang dilarang Allah. Isrāf dan tabdżîr dalam pandangan Islam bermakna at-tabdżîr -linfaq fil haram wal ma'asiy (infaq/membelanjakan uang dalam hal yang haram dan maksiat). Imam Qurthubi dalam tafsirnya menulis bahwa yang dimaksud isrāf adalah membelanjakan harta di jalan selain Allah, dan barang siapa yang berpaling dari ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla disebut kikir (al-iqtār), dan barang siapa yang membelanjakan harta dalam rangka ketaatan kepada Allah disebut al-qawam. Sifat ini termaktub dalam surat Al-Furqan aya 67 yang menjelaskan tentang sifat ‘ibādurrahmān (hamba-hamba yang Maha Pengasih).

Ibnu Abbas mengatakan: "Barang siapa yang membelanjakan seratus ribu dirham dalam ketaatan bukanlah isrāf, sebaliknya barang siapa yang membelanjakan satu dirham dalam kemaksiatan adalah israf. Dan siapa yang mencegah dirinya dari membelanjakan hartanya maka ia kikir (al-qatr)". Senada dengan pendapat itu adalah pendapat Mujahid, Ibnu Zaid dan selain dari keduanya. Demikian pula pendapat Ibnu Mas’ud ra ketika menafsirkan surat al-Isra’ [17] ayat 26-27.

Qatadah mengatakan bahwa "menghambur-hamburkan harta adalah menginfakkannya dalam kemaksiatan kepada Allah". Mujahid juga mengatakan "andaikan ada seorang laki-laki menafkahkan harta sebesar gunung ini dalam ketaatan kepada Allah, tidaklah ia tergolong pemboros. Jadi kalau dia menafkahkan satu dirham dalam kemaksiatan kepada Allah maka dia memang tergolong pemboros". Dengan demikian, sedikit atau banyaknya harta yang dikeluarkan bukan menjadi ukuran penghamburan, melainkan dilihat dalam hal apa harta itu dibelanjakan.



Wallâhu A'lam bishshawwâb

0 Responses to “ISRÂF DAN TABŻĬR (إسراف وتبذير)”

Posting Komentar