Rabu, 22 Desember 2010

UNTAIAN KATA BUAT UMMI

IBU : PENCETAK DAN PEMBINA UMAT

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra:"Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Saw, lalu bertanya, 'Ya Rasulullah, siapakah manusia yang paling berhak aku pergauli dengan baik?' Rasulullah menjawab, 'Ibumu'. Dia bertanya lagi, 'Kemudian siapa?' Rasulullah menjawab, 'Kemudian ibumu'. Dia bertanya lagi, 'Kemudian siapa?' Rasulullah menjawab, 'Kemudian ibumu.' Dia bertanya lagi, 'Kemudian siapa?' Rasulullah menjawab, 'Kemudian bapakmu'." (HR. Al-Bukhari).

Petikan hadis di atas mengisyaratkan sebuah pemahaman bahwa kedudukan berbakti kepada ibu berada dalam peringkat utama yang penyebutannya dalam hadis di atas sebanyak tiga kali kemudian disusul dengan berbakti kepada bapak sebanyak satu kali. Mengapa Rasulullah Saw menekankan pentingnya berbakti kepada ibu itu sampai diulang sebanyak tiga kali baru setelah itu kepada bapak? Menurut Ibnu Katsîr bahwa Allah mengkhususkan berbuat baik kepada seorang ibu dikarenakan seorang ibu mengalami proses yang cukup berat ketika mengandung anaknya mulai dari masa kehamilan muda yang harus berperang dengan kondisi tubuh yang rentan sampai usia kehamilan yang sempurna mengalami keletihan dan kepayahan yang berlipat ganda, ditambah lagi ketika akan melahirkan rasa sakitnya semakin besar dan rela mempertaruhkan nyawa demi anak yang dikandungnya selama sembilan bulan agar keluar dari rahimnya dengan selamat. Setelah melahirkan maka tugas lainnya terus menanti yaitu menyapihnya selama dua tahun serta mendidiknya dengan pendidikan yang terbaik.

Selain itu kedekatan seorang ibu kepada anaknya akan terus terasa hangat karena anak itu sebelum hadir ke dunia ini berada dalam alam rahim. Alam rahim yaitu alam yang penuh dengan kasih sayang. Karena Rahim bermakna kasih sayang. Sehingga kedekatan emosional berupa rasa kasih sayang seorang ibu kepada anaknya akan terus bersemayam pada diri seorang anak sepanjang hidupnya. Atas dasar inilah Rasulullah Saw juga memuliakan seorang ibu dengan mengatakan bahwa : “ surga itu berada di bawah telapak kaki ibu.” Dalam Islam perbincangan tentang ibu ini mendapat perhatian tersendiri dalam Alquran sebagaimana diisyaratkan dalam surat Luqman, ayat 15, surat Al-Ahqaf ayat 15. Kedudukan seorang ibu dalam Islam sangat tinggi , tidak dapat disetarai oleh isteri maupun anak. Seorang anak harus tunduk kepada ibunya dan bersikap tabah terhadapnya apabila terjadi kemarahan pada diri ibunya. Meskipun kemarahan itu terjadi pada diri seorang ibu namun karena wataknya yang halus dan lembut serta rasa kasih sayangnya maka seorang ibu itu kerap kali mema’afkan kesalahan anak-anaknya sebelum anak-anaknya meminta maaf kepadanya. Bahkan perkataan dan perbuatan buruk anaknya sekalipun tetap diberikan pintu maaf oleh seorang ibu.

Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa meskipun kita diwajibkan berbuat baik kepada ibu, namun kita dilarang untuk mengikuti agama seorang ibu yang berbeda dengan kita, sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah Saw seorang sahabat yang bernama Sa'ad bin Malik yang memiliki keyakinan yang berbeda dengan ibunya. Sa’ad sendiri menyadari bahwa sesungguhnya turunnya surat Luqman ayat 15 itu berkaitan dengan yang terjadi pada dirinya. Dia mengakui bahwa dirinya adalah seorang yang berbakti kepada ibunya, maka tatkala dia memeluk Islam, ibunya mengatakan kepadanya untuk meninggalkan agama barunya (Islam). Ibunya juga mengancam jika Sa’ad tidak meninggalkan agama barunya tersebut ia tidak akan makan dan minum sampai ia mati dan Sa’ad akan mendapatkan celaan dengan sebab kematian ibunya sehingga ia dicap sebagai ' pembunuh ibunya'. Sa’ad tetap menjawab dengan penuh kelembutan atas ancaman ibunya tersebut dan mengatakan , 'Jangan kamu lakukan wahai ibuku, karena aku tidak akan meninggalkan agamaku ini untuk siapa pun juga. Maka dia (ibu Sa'ad) mogok makan selama sehari semalam sampai dia kelihatan sudah payah. Kemudian dia tidak makan sehari semalam lagi, maka kelihatan semakin payah. Melihat kondisi ibunya tersebut Sa’ad tetap teguh dalam pendiriannya tersebut dan berkata kepada ibunya 'Hendaklah kamu tahu wahai ibuku, seandainya kamu memiliki seratus nyawa, dan nyawa itu melayang satu demi satu, maka tidak akan aku tinggalkan agama ini karena apa pun juga, maka kalau mau makan, makanlah, kalau tidak, maka jangan makan. ‘. Mendengar tegasnya jawaban Sa’ad ibunyapun akhirnya makan. Kisah kehidupan para sahabat Rasulullah Saw ini dapat dijadikan contoh bahwa berbeda keyakinan dengan orang tua tidak menjadikan kita lantas memusuhinya. Bahkan para Nabi juga banyak yang berbeda keyakinan dengan kedua orang tuanya namun mereka tetap berbuat baik dan mendoakan keduanya ke jalan Hidayah Allah.

Ibu dalam bahasa Alquran disebut dengan “ umm”. Dalam surat Luqman (31) ayat 14 dan surat Al-Ahqâf ayat 15 kata ummuhu yang berarti ‘ibunya’ menggunakan kata umm. Sinonim untuk ibu juga disebut dalam Alquran dengan istilah al-wâlidah (dalam surat an-Nisâ ayat 233) yang menurut al- Biqa’I mengandung arti seorang wanita yang melahirkan. Menurutnya perbedaan antara wâlidah dan umm itu terletak pada konteks fungsi dan tanggung jawabnya. Kata wâlidah dimaksudkan wanita yang melahirkan dan bertanggung jawab untuk menyusukannya. Sedangkan umm maknanya dalam hal mendidiknya menjadi seorang imam dalam segolongan umat.

Quraish Shihab mengatakan bahwa dari kata umm dibentuklah kata imâm dan ummat/ummah. Meskipun dari kata yang sama itu dibentuk kata imam (pemimpin) dan ummat/ ummah namun kesemuanya bermuara pada makna “ yang dituju “ atau “yang diteladani”, dalam arti pandanan harus tertuju pada umat, pemimpin dan ibu untuk diteladani. Umm atau ibu melalui perhatiannya kepada anak-anak , keteladanannya (uswatun hasanah) , serta perhatian anak kepadanya dapat menciptakan pemimpin-pemimpin dan bahkan membina umat. Sebaliknya, jika yang melahirkan seorang anak tidak berfungsi sebagai seorang umm, maka umat akan hancur dan pemimpin (imam) yang wajar untuk diteladani pun tidak akan lahir.

Ketika Alquran menempatkan kewajiban berbuat baik kepada orang tua khususnya kepada ibu pada urutan kedua setelah kewajiban taat kepada Allah, bukan hanya disebabkan ibu memikul beban yang berat dalam mengandung, melahirkan dan menyusui anak. Tetapi juga karena ibu dibebani tugas menciptakan pemimpin-pemimpin umat. Fungsi dan peranan inilah yang menjadikannya sebagai umm atau ibu. Demi suksesnya fungsi tersebut, Allah menganugerahkan kepada kaum ibu struktur biologis dan ciri psikologis yang berbeda dengan kaum bapak. Peranan ibu sebagai pendidik generasi bukanlah sesuatu yang mudah. Peranan itu tidak dapat diremehkan atau dikesampingkan. Namun demikian, ini bukan berarti bahwa ibu harus terus-menerus berada di rumah dan tidak mengikuti perkembangan . juga pada saat yang sama, ia tidak berarti bahwa harus menelusuri jalan yang di tempuh oleh kaum bapak.

Ibnu Hazm seorang ulama tafsir dari Andalusia (Spanyol sekarang) yang hidup sekitar tahun 384-456 H berpendapat bahwa baik dan terpuji apabila seorang ibu atau isteri melayani suaminya, membersihkan dan mengatur rumah tempat tinggalnya, tetapi bukan merupakan kewajibannya. Makanan dan pakaian yang telah siap terjahit untuknya justru menjadi kewajiban bapak menyediakannya. Sebenarnya beliau ingin menekankan pentingnya kewajiban ibu dalam mendidik anak-anaknya. Oleh karena itu, sebagai anak juga harus mengingat jasa-jasa ibu: seteguk ASI yang pernah kita minum, setetes keringat yang pernah dicurahkannya, seuntai kalimat bimbingan yang pernah disampaikannya semuanya tidak akan pernah mungkin diimbangi ataupun terbalas. Kita hanya dapat bermohon dan bermunajat “ Rabbî ighfir waliwâlidayya wa irhamhumâ kamâ rabbâyānì shagīrā.

“Selamat hari Ibu .. kasih ibu sepanjang masa “

Wallâhu ‘alambisshawwâb